Benarkah Islam Hanya Agama, Bukan Ideologi?

Belakangan ini kata “ideologi” menjadi banyak perbincangan di masyarakat Indonesia. Bahkan terdapat segolongan orang yang mengungkapkan akan adanya sebuah ideologi islam. Hal ini sedikit berbeda dengan biasanya, yang mana kebanyakan orang menganggap islam hanyalah sebagai agama saja. Benarkah demikian?, untuk mengetahui lebih jelasnya mari kita simak ulasan berikut ini.


Soal:

Banyak pertanyaan seputar Islam sebagai agama dan ideologi. Ada yang menyatakan, Islam adalah agama, bukan ideologi. Ada juga yang menyatakan, Islam adalah agama sekaligus ideologis. Mana yang benar?

Jawab:

Harus diakui, istilah ideologi adalah istilah baru, setelah munculnya ideologi dunia, seperti Kapitalisme dan Sosialisme. Bagi Islam dan kaum Muslim, istilah ideologi ini merupakan istilah serapan, seperti istilah ‘aqîdah, dharîbah, dustûr (UUD) dan qânûn (UU) pada zaman masing-masing ketika istilah tersebut muncul pertama kali, dan diadopsi oleh kaum Muslim. Istilah ‘aqîdah, misalnya, sekalipun tidak digunakan dalam nas-nas al-Quran dan as-Sunnah, pada akhirnya bisa diterima oleh kaum Muslim, setelah digunakan oleh para ulama ushuluddin pada pertengahan abad ke-6 H.1 Istilah ini merupakan padanan dari kata îmân, yang digunakan baik dalam al-Quran maupun as-Sunnah. Demikian halnya penggunakan istilah dharîbah, digunakan oleh para fukaha kaum Muslim kira-kira pada abad ke-8 H.2 Hal yang sama juga terjadi dalam kasus dustûr dan qânûn, yang digunakan pada abad ke-18 H, setelah negara-negara Eropa mulai bangkit serta membuat UUD dan peraturan perundang-undangan. Istilah UUD dan peraturan perundang-undangan ini kemudian diterjemahkan dalam bahasa Arab dengan istilah ad-dustûr wa al-qawânîn. Awalnya, istilah ini dipakai oleh para ulama bahasa untuk menulis buku yang berisi aturan bahasa, seperti kitab Dustûr al-Muntahâ atau Dustûr al-Mubtadi’.3

Ilustrasi ideologi, sumber : pastiguna.com

Dalam konteks penggunaan istilah ideologi, istilah ini kemudian digunakan dalam bahasa Arab dengan sebutan yang sama, yaitu idiyuluji, atau dengan sebutan yang berbeda, yaitu mabda’. Intinya adalah pemikiran paling mendasar, yang tidak dibangun dari pemikiran yang lain.4 Pemikiran seperti ini, menurut Muhammad Muhammad Ismail, hanya ada pada pemikiran yang menyeluruh tentang alam, manusia dan kehidupan; serta apa yang ada sebelum dan setelahnya; juga hubungan antara alam, manusia dan kehidupan dengan apa yang ada sebelum dan setelahnya.5 Bagi kaum Muslim, pemikiran seperti ini adalah akidah Islam itu sendiri. Sebab, akidah Islam adalah pemikiran yang menyeluruh tentang alam, manusia dan kehidupan; yaitu dari mana, untuk apa dan akan ke manakah alam, manusia dan kehidupan ini? Maka dari itu, tentu alam, manusia dan kehidupan itu tak lain merupakan ciptaan Allah, untuk mengabdi kepada-Nya, dan hanya kepada-Nyalah semuanya akan kembali. Manusia akan dibangkitkan dan dimintai pertanggungjawaban setelah kematiannya di dunia, sementara yang lain tidak. Karena itu, sebelum kehidupan ini, ada Allah, Zat Yang Maha Pencipta, dan setelah kehidupan ini akan ada Hari Kiamat, dan hisâb. Agar semua proses kehidupan manusia itu bisa dipertanggungjawabkan di hadapan Allah kelak, maka Allah menurunkan syariah (aturan) untuk kehidupan manusia, yang kelak juga akan dijadikan standar oleh Allah untuk meminta pertanggungjawaban mereka. Inilah pemikiran mendasar, yang juga disebut fikrah kulliyah Islam. Pemikiran mendasar inilah yang juga disebut mabda’ atau idiyuluji. Inilah substansi ideologi, yaitu apa dan bagaimana ideologi itu sendiri.

Pertanyaan berikutnya, apakah setiap akidah agama bisa menjadi ideologi? Jawabannya tidak, bergantung: Pertama, apakah akidahnya adalah akidah yang rasional atau tidak? Kedua, apakah akidah tersebut bisa memancarkan sistem (nizhâm) atau tidak? Jika dari kedua pertanyaan tersebut jawabannya ya, atau dengan kata lain merupakan akidah rasional yang bisa memancarkan sistem, maka akidah tersebut bisa menjadi ideologi. Sebaliknya, jika tidak maka akidah tersebut pasti tidak akan bisa menjadi ideologi. Contohnya, akidah Yahudi maupun Nasrani. Kedua akidah ini tidak bisa menjadi ideologi, karena bukan merupakan akidah ‘aqliyyah, yang bisa memancarkan nizhâm. Ini berbeda dengan akidah Islam. Akidah Islam adalah akidah rasional yang bisa memancarkan nizhâm, yang bukan hanya sistem peribadatan saja, melainkan juga sistem pemerintahan, ekonomi, sosial, pendidikan, dan semua sistem kehidupan yang lainnya.

Bukti lain bahwa Islam bisa menjadi ideologi adalah dari aspek keutuhan ajaran Islam, yang bukan hanya berisi gagasan, konsep atau pemikiran, yang disebut dengan fikrah (ide), tetapi juga berisi tharîqah (metode) bagaimana fikrah tersebut diterapkan, dipertahankan dan diemban ke seluruh dunia. Pada tataran konsep, misalnya, Islam bukan saja berisi akidah tentang keimanan kepada Allah, Malaikat, Kitab, Rasul, Hari Kiamat serta Qadha’ dan Qadar—yang baik dan buruknya berasal dari Allah; tetapi juga seluruh aturan yang dibutuhkan oleh manusia, baik dalam konteks ubudiah, muamalah maupun untuk mengurus dirinya sendiri (akhlak, makanan dan pakaian). Semua itu hanya bisa diwujudkan kalau ada metode untuk mewujudkannya, yaitu adanya partai yang memperjuangkan terwujudnya fikrah tersebut, dan adanya negara yang menerapkannya. Demikian halnya, semua itu bisa dipertahankan jika ada sanksi hukum dan negara yang mempertahankannya, berikut peranan partai politik dan umat yang mengontrolnya. Begitu juga, semua itu akan bisa diemban ke seluruh dunia jika ada dakwah, jihad dan negara yang mengembannya.

Ketiga ideologi besar di dunia, sumber : kompasiana.com

Baca Juga Khilafah Tegak, Apakah Jihad Satu-Satunya Metode untuk Mencapainya?

Karena itu, Islam bukan hanya agama, melainkan juga ideologi. Penggunaan ideologi ini untuk Islam tentu absah, dilihat dari substansinya; bukan dari aspek sumber, dari mana ideologi tersebut dihasilkan; akal atau wahyu? Sebab, pada aspek ini, persoalannya adalah persoalan sumber, bukan substansi. Artinya, dari aspek sumber ideologi, ideologi yang ada saat ini bisa dikategorikan menjadi dua: yaitu ideologi yang bersumber dari akal manusia dan ideologi yang bersumber dari wahyu. Islam adalah satu-satunya ideologi yang bersumber dari wahyu. Selain Islam, baik Kapitalisme, Solialisme maupun Komunisme adalah ideologi yang bersumber dari akal manusia. Hanya saja, sering ada kesengajaan untuk merancukan ideologi dari substansinya ke sumbernya. Akibatnya, Islam ditolak sebagai ideologi, dengan alasan, Islam adalah ajaran yang bukan bersumber dari akal manusia, melainkan dari wahyu Allah. Padahal konteks permasalahannya bukan disitu. Ini sebenarnya merupakan upaya penyesatan yang bertujuan untuk menolak Islam sebagai ideologi. Padahal dengan menolak Islam sebagai ideologi, sama saja dengan menolak Islam sebagai sistem pemerintahan, ekonomi, sosial, pendidikan, politik dalam dan luar negeri. Tentu itu bertentangan dengan akidah Islam dan kaum Muslim, apapun mazhabnya.

Kita tidak yakin ada orang Islam yang berani melakukan itu, apalagi sampai lancang mengatakan, bahwa ideologi Islam adalah sumber konflik. Sebab, risikonya jelas: melawan akidah yang diyakininya, bahkan menginjak-injak fikih yang dipelajari dan diajarkannya sendiri; kecuali, jika dia menjadi kepanjangan tangan kaum imperialis penjajah untuk sengaja melemahkan Islam dan kaum Muslim, demi mendapatkan secuil kenikmatan dunia, yang belum tentu didapatkannya. Wallâhu a‘lam. d


Terimakasih sudah berkenan menyimak tulisan yang berjudul “Benarkah Islam Hanya Agama, Bukan Ideologi?”. Kami dari anaksholeh.net telah menambahkan link, gambar, featured image dan pemberian pembuka serta penutup. Jika dirasa tulisan ini bermanfaat, silahkan share ke berbagai platform social media yang ada. Jazakumullah khair


Catatan Kaki:

  1. Lihat, Lu’ayyi Shafi, Al-‘Aqîdah wa as-Siyasah: Ma‘âim Nazhariyyah ‘Ammah li ad-Dawlah al-Islâmiyyah, al-Ma’had al-‘Alami li al-Fikr al-Islami, cetakan I, 1996, hlm. 51.
  2. Lihat, Imam as-Syafi’i, Al-Umm, Dar al-Ma’rifah, Beirut, cetakan III, 1393, IV/200. Beliau telah menggunakan istilah dharîbah tersebut untuk menyebut jizyah. Istilah ini kemudian digunakan oleh para fuqaha’ berikutnya, dan setelah itu bukan hanya untuk menyebut jizyah, tetapi menjadi istilah tersendiri untuk praktik pemungutan uang yang ditetapkan oleh negara kepada rakyatnya. Ibn Taimiyah menjelaskan, bahwa istilah dharîbah ini tidak memiliki batasan tersendiri dalam konteks bahasa, tetapi dikembalikan pada penggunaan berdasarkan konvensi kaum atau umat tertentu. Lihat, Majmu’ al-Fatawa, XIX/253.
  3. Lihat, Shadiq Hasan al-Qanuji, Abjad al-‘Ulûm, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, 1978, III/259.
  4. Lihat, Muhammad Muhammad Ismail, Al-Fikr al-Islâmi, Maktabah al-Waie, Beirut, 1958, hlm. 9-10.
  5. Lihat, Ibid, hlm. 10.

Sumber : Majalah Al Waie edisi Juni 2007

Leave a Comment