Bolehkah Menerima Hibah Dari Negara Kafir?

Hibah merupakan salah satu amal perbuatan yang hampir sama dengan sedekah dan wakaf. Dan terdapat beberapa kaidah dan keutamaan di dalamnya. Hibah pun bisa dilakukan siap saja, meskipun itu adalah sebuah instansi atau perusahaan ataupun negara. Tetapi ada point yang harus diperhatikan ketika menerima hibah dari salah satu negara kafir. Lebih jelasnya, mari kita simak ulasan berikut ini.


Soal:

Apa perbedaan hibah, sedekah dan wakaf? Apakah hukum harta hibah yang diberikan oleh negara, perusahaan atau organisasi sama dengan hukum hibah dari pribadi?

Jawab:

Berbagai bantuan yang diberikan tanpa imbalan (kompensasi), termasuk tabarru‘ât, merupakan bentuk hibah (pemberian cuma-cuma), dan kepadanya berlaku hukum hibah. Hanya saja, jika pemberian tersebut dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah maka bantuan tersebut termasuk kategori sedekah dan wakaf. Kepadanya juga berlaku hukum sedekah dan wakaf meski antara sedekah dan wakaf itu sendiri ada perbedaan dalam konteks tasharruf-nya.

Hibah, sumber : mrbagaimana.com

Pihak pemberi hibah, sedekah dan wakaf itu adakalanya individu atau orang; adakalanya negara, perusahaan, organisasi atau badan hukum tertentu. Dalam hal ini, hukum hibah, sedekah dan wakaf yang diberikan individu jelas berbeda dengan yang diberikan oleh negara, perusahaan, organisasi atau badan hukum tertentu; karena masing-masing faktanya jelas berbeda.

Hibah dari individu, secara syar‘i hukumnya mubah meski pihak pemberi hibahnya adalah orang kafir sekalipun. Nabi saw. sendiri pernah menerima hadiah dari orang kafir.

Adapun hukum hibah dari negara, perusahaan, organisasi atau badan hukum bisa dikeluarkan dari statusnya sebagai hibah, dan berubah menjadi barter (mubâdalah). Sebab, umumnya sebuah badan hukum (perusahaan dan organisasi, termasuk di dalamnya negara) tidak akan memberikan harta kepada seseorang murni sebagai pemberian sehingga layak dikategorikan sebagai hibah. Sebaliknya, negara, perusahaan atau organisasi umumnya memberikan hartanya tidak lain adalah untuk merealisasikan salah satu tujuannya. Harta tersebut tidak pernah diberikan, kecuali pasti ada maksud tertentu; apakah tujuan tersebut dikemukakan, atau dijadikan syarat secara tertulis maupun lisan, yang dilakukan secara terbuka; atau tidak pernah dikemukakan, namun tetap disembunyikan dan juga tidak pernah dinyatakan sebagai syarat, tetapi realisasinya dibungkus melalui hibah dan tabarru‘ât tersebut.

Badan hukum seperti negara, perusahaan atau organisasi hanya akan memberikan hartanya sebagai sebuah kompensasi sehingga kepadanya tidak bisa diberlakukan hukum hibah, melainkan hukum sesuatu yang ada di balik pemberian harta tersebut. Jika maksud di balik pemberian tersebut adalah menguasai atau mengendalikan pihak yang diberi maka status harta pemberian tersebut haram. Sebab, hal itu merupakan sesuatu yang tidak dibenarkan oleh syariah. Namun, jika maksud di balik pemberian tersebut adalah untuk melakukan sejumlah aktivitas tertentu maka statusnya sama dengan akad ijârah (kontrak kerja) sehingga kepadanya berlaku hukum ijârah, baik yang dibolehkan maupun yang diharamkan. Jika di luar semuanya itu maka kepadanya diberlakukan hukum yang relevan dengan kasusnya, baik pihak yang menerima hibah tersebut individu (orang) ataupun organisasi, perusahaan, negara atau yang lazim disebut badan hukum (syakhshiyyah ma‘nawiyah). Sebab, hukum yang berkaitan dengan penerima tidak ada perbedaan, tetapi yang berbeda adalah hukum yang berkaitan dengan pihak pemberinya.

Semuanya ini berlaku dalam konteks hibah yang tidak termasuk kategori sedekah atau wakaf. Adapun hibah yang merupakan bentuk sedekah atau wakaf, yaitu hibah yang bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah, seperti hibah untuk pembangunan masjid, pembelian sajadah, pendidikan anak-anak kaum Muslim, memberi makan fakir miskin, mengemban dakwah atau yang sejenis, maka hibah seperti ini tidak boleh diperoleh dari orang kafir, dengan alasan apapun; baik milik individu maupun badan hukum. Sebab, semua perbuatan orang kafir yang bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah dinilai tidak sah karena syaratnya harus Muslim. Dalam hal ini, statusnya sama dengan ibadah sehingga hibah dari orang non-Muslim tersebut hukumnya tidak sah, dan orang Islam haram mengambil hibah tersebut.

Orang kafir tidak boleh dipungut sedekahnya, juga wakafnya, dalam kondisi apapun, sekalipun sedekah dan wakaf mereka bukan bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah, dan bukan untuk salah satu pos aktivitas untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Sebab, sedekah dan wakaf itu sendiri, termasuk bantuan untuk mengemban dakwah, pendidikan anak-anak kaum Muslim—termasuk yang sejenis—merupakan bentuk aktivitas untuk mendekatkan diri kepada Allah sehingga secara mutlak tidak boleh diambil dari orang kafir.

Penandatanganan perjanjian pemberian hibah Indonesia kepada Kepulauan Solomon, 16 Desember 2020, sumber : news.okezone.com

Baca juga: Hukum menerima hadiah undian produk

Namun, sedekah dan wakaf tersebut boleh diambil dari orang Muslim jika memang dia memang layak memberikan sedekah. Namun, jika dia tidak layak memberikan sedekah maka sedekah tersebut haram diambil darinya. Ini berdasarkan sabda Rasulullah saw.:

لاَ تَحِلُّ الصَّدَقَةُ لِغَنِيٍّ اِلاَّ لِخَمْسَةٍ: لِعَامِلٍ عَلَيْهِ، أَوْ رَجُلٍ اِشْتَرَاهَا بِمَالِهِ، أَوْ غَارِمٍ، أَوْ غَازٍ فيِ سَبِيْلِ اللهِ، أوْ مِسْكِيْنٍ تَصَدَّقَ عَلَيْهِ مِنْهَا فَاُهْدِيَ مِنْهَا لِغَنِيٍّ

Sedekah itu diharamkan untuk orang kaya, kecuali lima: amil yang mengurusnya; orang yang membeli sedekah tersebut dengan hartanya; orang yang berutang; orang yang berperang di jalan Allah; atau orang miskin mendapatkan sedekah, kemudian sedekah tersebut diberikan kepada orang kaya.

Nabi saw. juga bersabda tentang sedekah:

وَلاَ حَظَّ فِيْهَا لِغَنِيٍّ وَلاَ لِقَوِيٍّ مُكْتَسِبٍ

Tidak ada bagian di dalam sedekah itu bagi orang kaya serta orang yang masih kuat dan mempunyai penghasilan.

Sekalipun yang dimaksud dalam kedua hadis tersebut adalah zakat, tetapi lafalnya umum sehingga bisa meliputi semua bentuk sedekah. Ini sebagaimana sabda Nabi saw. yang menyatakan:

اليَدُ العُلْيَا خَيْرٌ مِنَ اليَدِ السُّفْلَى

Tangan di atas (tangan pemberi) lebih baik daripada tangan di bawah (tangan peminta-minta).

مَنْ يَسْأَلِ النَّاسَ أَمْوَالَهُمْ تَكَثَّرَا فَاِنَّمَا يَسْأَلِ جَمْرًا

Siapa saja yang meminta harta kepada orang, kemudian harta itu menjadi sama-sama banyak, maka orang tersebut tak lain hanya meminta bara api.

Ini terkait dengan individu. Namun, jika sedekah tersebut diperoleh dari seorang Muslim, sebagai individu, maka sedekah tersebut boleh diambil jika orang tersebut memang layak memberikan sedekah, dan sebaliknya; tidak boleh diambil jika orang tersebut memang tidak layak memberikannya.

Adapun yang berkaitan dengan badan hukum, yaitu negara atau organisasi tertentu, maka badan hukum tersebut tidak boleh mengambil tabarru‘ât yang dimaksud untuk mendekatkan diri kepada Allah. Pasalnya, tabarru‘ât tersebut merupakan bagian dari sedekah, sementara badan hukum tidak boleh mengambil sedekah karena badan hukum tidak dalam kategori fakir-miskin. Menurut syariah, fakir-miskin itu berlaku untuk orang atau individu. Kefakiran atau kemiskinan itu identik dengan kebutuhan akan hajat hidup yang sesuai dengan kondisi dan padanannya. Apakah kemudian orang yang fakir tersebut didefinisikan dengan orang yang tidak memiliki sesuatu, atau orang yang memiliki sesuatu tetapi tidak mencukupi hajat hidupnya, tetap saja fakir itu identik dengan kebutuhan. Kebutuhan tersebut hanya berlaku untuk orang atau individu, atau badan sungguhan, bukan badan hukum, sehingga kefakiran tersebut tidak ada, dan tidak akan pernah berlaku di sana. Adanya badan hukum itu sendiri bukan merupakan hajat hidup, lalu bagaimana mungkin ia membutuhkan apa yang dituntut oleh hajat hidup?

Negara sendiri tidak layak ada jika memang negara tersebut tidak memiliki apa yang menjadi hajat hidupnya. Demikian pula organisasi, apalagi perusahaan karena ia didirikan demi meraih keuntungan. Karenanya, badan hukum haram mengambil jenis tabarru‘ât yang bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah, yaitu sedekah atau wakaf.

Hibah, sumber : keuskupanbogor.org

Karena itu, dalam kondisi apapun, haram hukumnya jam’iyyah (organisasi) yang menyerukan Islam menerima bantuan negara asing, negara tempatnya berdomisili, perusahaan dan individu. Mengenai ada atau tidak adanya persyaratan, sebenarnya ketentuan ini tidak ada artinya. Sebab, persyaratan yang terselubung, yang dapat dipahami melalui pemberian, atau umumnya menjadi konsekuensi dari pemberian, kadangkala justru lebih dahsyat ketimbang persyaratan yang dinyatakan secara terbuka. Karena itu, apakah pemberian tersebut bersyarat atau tidak, sebenarnya tidak ada artinya, dan tidak perlu dibahas. Namun, yang tetap menjadi pembahasan utama adalah apa yang diberikan kepada jam’iyyah seperti ini tak lain adalah pemberian yang diberikan untuk mendekatkan diri kepada Allah sehingga secara mutlak tidak boleh diperoleh dari orang kafir. Secara mutlak, organisasi pun tidak boleh mengambilnya. Inilah hukum syariah yang berkaitan dengan masalah hibah, sedekah dan wakaf ini. (www.anaksholeh.net)

Sumber : Majalah Al Waie edisi Januari 2008


Terimakasih sudah berkenan menyimak ulasan artikel yang berjudul “Bolehkah Menerima Hibah Dari Negara Kafir?”. Kami dari anaksholeh.net telah menambahkan gambar, link, featured image dan pemberian pembuka serta penutup. Jika dirasa tulisan ini bermanfaat, silahkan share ke berbagai platform social media yang ada. Jazakumullah khair.

Leave a Comment