Bolehkah Perempuan dan Orang Kafir Menjadi Anggota Majelis Syura?

Islam tidak hanya mengatur permasalahan ibadah ritual saja. Sebagaimana kita tahu, agama Islam juga memiliki aturan mengenai sistem sanksi, sistem ekonomi hingga sistem pemerintahan. Salah satu komponen yang ada dalam sistem pemerintahan Islam adalah majelis syura. Nah, pada kesempatan kali ini insyaa Allah akan dibahas bagaimana hukum wanita dan orang kafir menjadi anggota majelis syura dalam sistem Islam. Selamat menyimak.


Soal:

Di dalam sistem pemerintahan Islam, apakah boleh kaum perempuan dan orang-orang kafir duduk sebagai anggota majelis syura (majelis umat)?

Jawab:

Majelis syura atau majelis umat adalah institusi yang di dalamnya berkumpul orang-orang yang mewakili suara (aspirasi) umat atau kaum Muslim. Di dalam majelis umat atau majelis syura inilah mereka—orang-orang yang mewakili kaum Muslim—melakukan musyawarah (tasyâwur) dan juga menjalankan aktivitas muhâsabah (kontrol dan kritik) terhadap para penguasa (yaitu Khalifah, mu‘âwin tafwîdh [wakil Khalifah], wali, dan amil [para gubernur dan pejabat daerah setingkat wali kota atau bupati]). Syura sendiri bermakna tasyâwur, yaitu memusyawarahkan/membahas suatu perkara (Lihat: Mu‘jam al-Wasîth, jilid I/499).

Dengan demikian, hubungan majelis umat dengan rakyat adalah hubungan perwakilan, dan transaksi yang dibangun di antara kedua belah pihak adalah transaksi (akad) wakalah. Artinya, rakyat memberikan suara atau aspirasinya mengenai berbagai masalah yang menyangkut aspek pemerintahan maupun kemasyarakatan kepada para wakilnya yang duduk di majelis umat. Tujuannya adalah agar aspirasi mereka itu disampaikan kepada pemerintah (dalam hal ini Khalifah dan para pejabat daerah) melalui anggota-anggota majelis umat.

Karena transaksi (akad) yang dibangun adalah wakalah (perwakilan), maka seluruh fungsi majelis umat di dalam sistem pemerintahan Islam sangat berbeda sama sekali dengan parlemen yang dijumpai di seluruh negara-negara di dunia, termasuk yang ada di negeri-negeri Muslim. Majelis umat tidak sama dengan parlemen dan tidak berfungsi sebagai intitusi legislatif. Majelis umat berfungsi menyuarakan aspirasi umat/rakyat kepada Khalifah, dan melakukan kontrol / koreksi terhadapnya agar seluruh langkah-langkah dan kebijakan Khalifah harus sesuai dengan sistem hukum Islam, dalam rangka melayani kepentingan Islam dan kepentingan seluruh kaum Muslim.

Ilustrasi artikel wanita menjadi anggota majelis syura, sumber unsplash @michael_david_beckwith

Di samping itu, majelis umat berhak untuk menominasikan calon-calon khalifah, membatasi nominasinya, dan menentukan siapa khalifah yang terpilih, apabila khalifah yang sebelumnya wafat atau telah diberhentikan. Dalam kondisi semacam ini, majelis umat kedudukannya seperti ahlul halli wa al-‘aqdi, seperti yang dibentuk oleh Khalifah Umar bin al-Khaththab r.a. beberapa saat menjelang wafatnya, untuk menentukan pengganti dirinya sebagai khalifah begitu beliau wafat.

Oleh karena itu, setiap Muslim yang menjadi warga negara Daulah Islamiyah berhak menunjuk wakil-wakilnya di dalam majelis umat, karena mereka berhak memberikan aspirasi atau suaranya kepada orang-orang yang mereka percayai.

Lalu, apakah seorang wanita atau orang kafir dibolehkan menjadi anggota majelis umat?

Seorang wanita Muslimah, hak-hak dan kewajibannya dalam akad wakalah sama kedudukannya dengan laki-laki. Seorang Muslimah berhak menunjuk seseorang sebagai wakilnya di dalam majelis umat, baik orang yang ditunjuknya itu sama-sama wanita atau laki-laki. Seorang laki-laki Muslim juga berhak menunjuk wakilnya di majelis umat, baik orang yang ditunjuknya itu sama-sama laki-laki ataupun wanita. Dengan begitu, seorang wanita Muslimah berhak menjadi anggota majelis umat, karena ia bisa saja ditunjuk oleh sesama wanita Muslimah lain atau pun laki-laki dari masyarakat, yang mempercayakan aspirasi mereka kepadanya.

Kenyataan di dalam kehidupan sosial menghendaki adanya wakil-wakil dari kaum wanita, karena kaum wanita juga adalah anggota masyarakat. Banyak perkara yang hanya diketahui secara spesifik oleh kaum wanita, bukan oleh kaum laki-laki. Jadi, jika terdapat syura (atau pembahasan) di dalam majelis umat yang menyangkut urusan kaum wanita, mau tidak mau, majelis akan merujuk kepada mereka, bukan kepada kaum laki-laki. Khalifah Umar bin al-Khaththab pernah meminta pendapat mengenai pembatasan nilai mahar (mas kawin) terhadap kaum wanita, karena nilai mahar merupakan hak kaum wanita terhadap laki-laki (calon suami). Umar lalu membatalkan pendapatnya sendiri seraya mengambil pendapat kaum wanita karena dalam perkara ini pendapat kaum wanitalah yang paling valid. Khalifah Umar bin al-Khaththab juga pernah bertanya kepada kaum wanita mengenai berapa lama seorang istri sanggup ditinggalkan oleh suaminya pergi berjihad fi sabilillah. Lalu Umar memutuskan penarikan pasukan secara berkala dan menggantinya dengan pasukan yang baru di medan jihad dengan daur (siklus) yang bertumpu pada pendapat kaum wanita. Pada saat itu para khalifah, sebelum memutuskan sesuatu atau mengeluarkan perundang-undangan yang menyangkut urusan kaum wanita, pasti bertanya terlebih dulu kepada mereka.

Kaum wanita yang menjadi anggota majelis umat juga berhak memilih khalifah, berhak melakukan kontrol/koreksi (muhasabah) terhadap Khalifah dan para pejabat pemerintahan daerah.

Adapun orang-orang kafir, maka yang dimaksudkan di sini tentunya adalah orang-orang kafir ahlu dzimmah, yaitu orang-orang kafir yang menjadi warga negara Daulah Islamiyah, yang tunduk pada sistem hukum Islam dan Daulah Islamiyah, serta sanggup mengeluarkan jizyah sebagai kompensasi jaminan yang diberikan negara terhadap harta, kehormatan, dan darah mereka.

Wanita muslimah

Setiap warga negara Daulah Islamiyah yang tergolong ahludz dzimmah berhak menunjuk wakil-wakilnya di majlis umat, baik wakil-wakil mereka itu adalah kaum wanita ataupun laki-laki, Muslim ataupun bukan Muslim. Sebab, akad wakalah tidak membeda-bedakan apakah wakil atau muwakkil-nya itu wanita atau laki-laki, Muslim atau non-Muslim. Di antara mereka bisa saling mewakilkan.

Hanya saja, warga negara Daulah Islamiyah yang tergolong ahludz dzimmah tidak berhak dan tidak dibolehkan terlibat di dalam musyawarah (syura) yang menyangkut perkara kaum Muslim. Mereka tidak boleh dan tidak berhak dicalonkan sebagai khalifah atau pejabat pemerintah daerah (wali atau amil), tidak berhak memilih khalifah. Mereka tidak berhak terlibat pembahasan di majelis umat mengenai politik dalam dan luar negeri, masalah ekonomi dan keuangan, pendidikan, maupun militer. Mereka juga tidak berhak terlibat di dalam pembahasan yang menyangkut legislasi syariat dan sejenisnya.

Dengan demikian, keanggotaan orang-orang kafir ahludz dzimmah di majelis umat hanya menyampaikan kepada Khalifah (Daulah Islamiyah) atas buruknya penerapan hukum-hukum Islam terhadap ahludz dzimmah oleh para penguasa, dan yang menyangkut hak mereka yang diperoleh dari Daulah Islamiyah (baik hak mereka atas jaminan harta, kehormatan, dan darah mereka; ataupun hak-hak mereka atas jaminan pendidikan, ibadah, kesehatan, kesejahteraan, dan sejenisnya); atau jika terdapat tindakan zalim penguasa terhadap mereka. Dalam hal ini wakil-wakil mereka di majelis umatlah yang menyampaikan keluhan dan aspirasinya kepada Khalifah. Jadi, wakil dari ahludz dzimmah di majelis umat hanya berhak menyampaikan perkara ini saja, bukan perkara yang lain. Berdasarkan paparan di atas, terdapat beberapa perbedaan dan pengecualian terhadap anggota majelis umat yang tergolong kafir ahludz dzimmah.

Tentu saja, gambaran di atas sangat berbeda dengan keanggotaan orang-orang kafir di dalam parlemen yang ada di negeri-negeri Islam. Di dalam parlemen sistem sekular, bahkan orang-orang kafir itu bisa dicalonkan sebagai kepala negara, berhak memilih kepala negara, berhak mendiskusikan dan menentukan perundang-undangan macam apa yang akan dikeluarkan (bersama-sama dengan pemerintah) untuk mengatur seluruh urusan (baik politik dalam dan luar negeri, aspek ekonomi dan keuangan, pendidikan, militer, peradilan dan sejenisnya). Dengan kata lain, umat saat ini telah memberikan kepercayaan dan muwalat-nya kepada orang-orang kafir (yang menjadi penguasa atau pun anggota parlemen), untuk mengatur urusan-urusan kaum Muslim, padahal Allah Swt. berfirman:

«كَانَتْ بَنُوْ إِسْرَائِيْلَ تَسُوْسُوْهُمْ اْلأَنْبِيَاءُ. كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيُّ خَلَفَهُ نَبِيُّ. وَإِنَّهُ لاّ نَبِيَّ بَعْدِيْ وَ سَيَكُوْنُ خُلَفَاءٌ فَيَكْثُرُوْنَ»

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang Mukmin. Inginkah kalian mengadakan alasan yang nyata bagi Allah untuk menyiksa kalian? (QS an-Nisa’ [4]: 144).

Wallâhu a‘lam. [AF]


Terimakasih sudah berkenan membaca hingga akhir artikel yang berjudul Bolehkah Perempuan dan Orang Kafir Menjadi Anggota Majelis Syura? Semoga menjadi ilmu yang bermanfaat. Artikel kami telah menambahkan gambar dan link pada artikel agar lebih menarik. Jika dirasa akan membantu saudara kita yang lain, silahkan share melalui sosial media artikel ini. Jazakumullah khair

Leave a Comment