Istilah “Deradikalisasi” akhir-akhir ini menjadi populer oleh banyak kalangan muslim di Indonesia. Seperti kita ketahui saat ini telah banyak keputusan ataupun ucapan dari para penguasa yang menyudutkan ajaran Islam. Terutama mengenai khilafah, jihad dan taghut.
Beragam cara dan upaya telah dilakukan oleh penguasa, termasuk menghilangkan materi bab khilafah dan jihad dari bangku sekolah. Yang mana akan mengakibatkan pemahaman mengenai khilafah, jihad dan taghut pada kaum muslim berangsur-angsur menghilang.
Lalu sebenarnya apa makna dari khilafah, jihad dan taghut ini? Dan bagaimana pandangan para ulama mengenai hal ini? Lebih jelasnya, mari kita simak ulasan artikel di bawah ini.
Soal:
Upaya deradikalisasi yang dilakukan oleh penguasa berusaha menjinakkan umat Islam, dengan memberi pemaknaan baru terhadap jihad, Khilafah dan taghut. Bagaimana sebenarnya pandangan ulama’ Islam terhadap ketiga istilah ini? Lalu makna yang benar seperti apa?
Jawab:
Harus dipahami, bahwa ada upaya sistematis untuk mempertahankan Sekularisme, dan penjajahan di negeri kaum Muslim. Karena itu, siapapun yang mengancam keduanya, akan diberi stigma, seperti Radikal, Fundamentalis, Teroris dan Kekerasan. Tujuannya agar umat menjauhinya, dan tidak memberikan dukungan kepada perjungannya.
Cara yang paling berbahaya, yang digunakan oleh penjajah adalah dengan menyesatkan opini umat Islam. Maka, lahirlah proyek deradikalisasi. Deradikalisasi ini sebenarnya bertujuan untuk menjinakkan umat Islam agar menerima Sekularisme dan penjajahan. Karena, kaum penjajah tahu, bahwa Islam merupakan sumber perlawanan, yang bisa mengancam kelangsungan penjajahan mereka.
Di antara pemahaman penting yang hendak diubah adalah tentang jihad, Khilafah dan thagut. Karena itu, untuk mengetahui fakta masing-masing, satu-satunya cara adalah dengan merujuk kepada pendapat ulama’ Muktabar (kridibel dan diakui). Bukan ulama’ salathin (penguasa) maupun ulama’ murtaziqin (sponsor).
Pertama, jihad. Menurut bahasa, ungkapan yang digunakan untuk maksud “mengerahkan kemampuan.”[1] Termasuk bersabar menghadapi kesulitan, yang boleh jadi dalam peperangan maupun tekanan hawa nafsu. Ini termasuk konotasi bahasa bagi lafadz jihad.[2] Tetapi, lafadz ini telah ditransformasikan oleh al-Qur’an dari konteks bahasa (haqiqah lughawiyyah) ke dalam konteks syariah (haqiqah syar’iyyah), sehingga mempunyai konotasi yang khas.[3] Karena itu, para fuqaha’ mazhab mendefinisikan jihad dengan:
“Mengerahkan seluruh kemampuan untuk berperang di jalan Allah, baik langsung, atau membantu dengan harta, pandangan, memperbanyak jumlah pasukan ataupun yang lain..” [4]
“Perang orang Islam melawan kaum Kafir yang tidak mempunyai perjanjian untuk menegakkan kalimah Allah, atau keikutsertaannya untuk berperang, atau masuk ke negerinya [kaum Kafir] untuk berperang..” [5]
“Jihad adalah berperang..” Demikian penegasan as-Syirazi dalam kitab al-Muhadzzab.[6]
Hal yang sama juga ditegaskan oleh Ibn Qudamah dalam kitabnya, al-Mughni. Beliau tidak membahas makna lain dalam bab Jihad, kecuali yang terkait dengan perang, memerangi kaum Kafir, baik fardhu kifayah maupun fardhu ‘ain, atau kesiagaan kaum Mukmin dari serangan musuh dan menjaga perbatasan.[7]
Karena itu, tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama’ Muktabar tentang makna jihad, yaitu berperang. Meski jihad identik dengan perang, tetapi tidak semua perang berarti jihad. Berperang melawan penyimpangan penguasa, selama tidak masuk dalam kategori murtad, berperang melawan orang yang merampas kekuasaan dan berperang untuk mendirikan Negara Islam, misalnya, adalah bentuk peperangan, tetapi tidak termasuk dalam kategori jihad.
Kedua, khilafah. Menurut bahasa, lafadz Khilafah merupakan bentuk kata kerja yang dibendakan (mashdar) dari Khalafa-Yakhlufu-Khilafah, yang berarti mengganti dan pergantian.[8] Istilah ini kemudian digunakan oleh nas syariah dengan konotasi syar’i, sebagaimana dalam riwayat Muslim, Ahmad dan lain-lain. Karena itu, para ulama’ pun mendefinisikan Khilafah dengan konotasi yang hampir sama:
“Khilafah pada dasarnya merupakan pengganti dari pemilik syariah untuk menjaga agama dan mengurus dunia dengan agama.”[9]
“Imamah [maksudnya Khilafah] ditetapkan untuk menggantikan kenabian dalam menjaga agama dan mengurus dunia.” [10]
“Kepemimpinan umum untuk [mengurus] seluruh umat [manusia].” [11]
“Kepemimpinan umum dalam urusan agama dan dunia bagi salah seorang [kaum Muslim].” [12]
“Kepemimpinan umum bagi seluruh kaum Muslim di seluruh dunia untuk menegakkan hukum-hukum syariah dan mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia.” [13]
Ini definisi yang dinyatakan oleh para ulama’ Muktabar. Secara umum definisi tersebut menegaskan, bahwa Khilafah adalah negara kaum Muslim yang mengurus urusan dunia dan agama mereka dengan hukum-hukum Allah. Negara tersebut merupakan satu-satunya negara kaum Muslim. Satu negara untuk seluruh kaum Muslim di seluruh dunia.
Mengenai hukum mendirikannya, maka seluruh ulama’ kaum Muslim, baik Sunni, Syi’i, Khawarij, Muktazilah maupun yang lain, sepakat bahwa hukumnya wajib.[14] Jika ada yang berbeda, mereka dianggap kelompok sempalan yang tidak mewakili mainstream. Seperti Hisyam al-Fuwathi dan an-Nadzdzam dari Muktazilah, serta an-Najadat dari sekte Khawarij.[15]
Sejarah panjang umat Islam selama 14 abad tidak mengenal nation state. Selain karena bertentangan dengan Islam, juga karena negara ini dibentuk oleh kaum penjajah untuk menghalangi persatuan umat Islam di seluruh dunia. Bahkan, mereka sendiri yang menggagas konsep nation state ini pun akhirnya meninggalkannya, dan menyatukan negara-negara mereka dalam Uni Eropa untuk melawan penjajahan Amerika.
Ketiga, taghut. Menurut bahasa, lafadz Thaghut merupakan kata kerja yang dibendakan (mashdar), seperti lafadz Rahabût dan Jabarût, yang digunakan untuk bentuk tunggal maupun jamak.[16] Ada yang mengatakan, bahwa lafadz ini merupakan bentuk isim Jins, yang berlaku untuk orang sedikit maupun banyak.[17] Ada yang menyatakan, bahwa lafadz Thâghût diambil dari Thughyân, bukan merupakan bentuk derivatif dari yang lain.[18]
Al-Jauhari berpendapat, bahwa Thaghut itu adalah pendeta, syaitan dan tiap pemimpin kesesatan. Lafadz ini bisa berlaku untuk satu orang sebagaimana dalam surat an-Nisa’: 60, dan bisa untuk jamak sebagaimana dalam surat al-Baqarah: 257. Jamak dari lafadz Thâghût ini adalah Thawâghît.[19] Sa’id bin Jubair mengatakan, bahwa Thaghut adalah tukang sihir. Ibn ‘Abbas, ad-Dhahak, Mujahid, menyatakan, bahwa Thaghut adalah Ka’ab bin Asyraf.[20]
Menurut Abu Ja’far at-Thabari, pendapat yang paling tepat tentang makna ayat, “Yu’minuna bi al-jibti wa at-thaghut (Mereka mengimani al-jibti dan thaghut).” adalah mereka meyakini dua sembahan itu selain Allah untuk mereka sembah, dan mereka jadikan sebagai tuhan. Sebab, al-Jibt dan Thaghut adalah dua sebutan untuk tiap perkara yang diagungkan untuk disembah selain Allah, ditaati atau dipatuhi, apapun bentuknya. Bisa batu, manusia atau syaitan.
Karena itu, di masa jahiliyah, berhala yang mereka sembah merupakan sesuatu yang diagungkan dan disembah selain Allah. Maka, berhala tersebut disebut Jibt dan Thaghut. Begitu juga dengan syaitan, yang ditaati untuk melakukan maksiat kepada Allah juga disebut Thaghut.
Demikian pula dengan tukang sihir dan pendeta, kata-kata keduanya ditaati oleh kaum Musyrik. Hal yang sam juga Huyyai bin Akhthab dan Ka’ab bin Asyraf, karena keduanya adalah figur yang ditaati oleh para pemeluk agama Yahudi dalam maksiat kepada Allah, mengingkari-Nya dan mengingkari Rasul-Nya. Karenanya, mereka juga disebut Jibt dan Thaghut.[21]
Dari penjelasan para ulama’ ahli tafsir di atas bisa disimpulkan, bahwa Thaghut adalah siapa saja yang ditaati, dipatuhi dan diikuti perintahnya untuk melakukan kemaksiatan kepada Allah. Maksiat itu sendiri adalah setiap bentuk penyimpangan dari perintah dan larangan Allah. Karena itu, siapapun yang memproduk hukum Kufur, menjalankan dan menegakkannya, untuk ditaati, dipatuhi dan diikuti, maka dialah Thaghut yang dimaksud oleh al-Qur’an, meskipun dia adalah manusia, bukan jin (syaitan) apalagi batu. Demikian penjelasan at-Thabari.
Wallahu a’lam.
Terimakasih sudah membaca artikel yang berjudul “Proyek Deradikalisasi, Upaya Menjinakkan Umat Islam”. Kami dari anaksholeh.net telah menambahkan gambar, link, featured image, perbaikan alenia, perbaikan pada judul dan pemberian pembuka serta penutup agar lebih menarik. Jika artikel ini dirasa bermanfaat, silahkan share melalui sosial media.
Jazakumullah khair.
Catatan kaki:
[1] Al-Kasani, Bada’i as-Shana’i, juz VII, hal. 97.
[2] Hasyiyatu al-Jamal ‘ala al-Jalalain, juz III, hal. 441.
[3] Al-‘Allamah Syaikh Dr. Muhammad Khair Haikal, al-Jihad wa al-Qital fi as-Siyasah as-Syar’iyyah, juz I, hal. 40.
[4] Ini merupakan pendapat mazhab Hanafi. Lihat, Ibn ‘Abidin, Hasyiyah Ibn ‘Abidin, juz III, hal. 336.
[5] Ini merupakan pendapat mazhab Maliki. Lihat, Syaikh Muhammad ‘Ilyas, Manhu al-Jalil, Mukhtashar Sayyidi Khalil, juz III, hal. 135.
[6] Ini merupakan pendapat mazhab Syafii. Lihat, as-Syirazi, al-Muhadzdzab, juz II, hal. 227.
[7] Ini merupakan pendapat mazhab Hanbali. Lihat, Ibn Qudamah, al-Mughni, juz X, hal. 375.
[8] Al-Qalqasyandi, Ma’atsiru al-Inafah fi Ma’alim al-Khilafah, juz I, hal. 08.
[9] Ibn Khaldun, Muqaddimah, hal. 159.
[10] Al-Mawardi, al-Ahkam as-Sulthaniyyah, hal. 3.
[11] Al-Qalqasyandi, Ma’atsiru al-Inafah fi Ma’alim al-Khilafah, juz I, hal. 08.
[12] ‘Abdurrahman ‘Adzuddin al-‘Iji, al-Mawaqif wa Syarhuhu li al-Jurjani, juz VIII, hal. 245.
[13] Al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddn an-Nabhani, Nidzam al-Hukmi fi al-Islam, hal. .
[14] Lihat, al-Amidi, Ghayatu al-Maram, hal. 354; al-Iji, al-Mawaqif, hal. 345; Ibn Khaldun, Muqaddimah, juz II, hal. 519; Ibn Hazm, al-Fashlu fi al-Milal, juz IV, hal. 87; Ibn an-Najjar, Muntaha al-Iradah, juz II, hal. 494; al-Baghdadi, al-Farqu baina al-Firaq, hal. 210; Ibn Taimiyyah, as-Siyasah as-Syar’iyyah, hal. 161-162; an-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, juz VII, hal. 205 dan 206.
[15] Lihat, Dr. Mahmud al-Khalidi, Ma’alim al-Khilafah fi al-Fikri al-Islami, hal. 45.
[16] Ini adalah mazhab Abu ‘Ali. Lihat, al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkami al-Qur’an, juz III, hal. 279.
[17] Ini adalah mazhab Sibawaih. Lihat, al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkami al-Qur’an, juz III, hal. 279.
[18] Al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkami al-Qur’an, juz III, hal. 279.
[19] At-Thabari, Tafsir at-Thabari, juz V, hal. 83.
[20] At-Thabari, Tafsir at-Thabari, juz V, hal. 83.
[21] At-Thabari, Tafsir at-Thabari, juz V, hal. 83.