Daulah Khilafah Berdiri, Haruskah Melunasi Utang Luar Negeri Sebelumnya?

Islam telah mengajarkan berbagai ilmu terkait perpolitikan, tak terkecuali sistem ketatanegaraan. Baik itu sistem kepemerintahan, penegakan hukum, peradilan, sistem ekonomi negara dan masih banyak lagi yang lainnya. Untuk mengetahui lebih banyak terkait hal ini, mari kita simak artikel kali ini yang berjudul “Daulah Khilafah Berdiri, Haruskah Melunasi Utang Luar Negeri Sebelumnya?”.


Pertanyaan:

Jika Daulah Khilafah Islamiyah berdiri, bagaimana upaya Daulah mengatasi masalah utang luar negeri yang terlanjur dilakukan oleh ‘rezim’ sebelumnya? Darimana Daulah memperoleh uang untuk pembayaran sisa utang luar negeri yang diwariskan ‘rezim’ sebelumnya?

Jawaban:

Utang luar negeri merupakan senjata ampuh yang menjadi andalan negara-negara kapitalis dalam menguasi negara-negara berkembang. Utang yang semakin membengkak akan semakin menyulitkan negara peminjam untuk bisa melunasi utangnya. Mencekik memang. Bahkan, tidak jarang, negara tersebut kemudian harus menggadaikan aset nasionalnya. Celakanya lagi, tidak semua utang tersebut adalah milik pemerintah, karena pihak swasta juga ikut menikmati ‘bantuan’ lunak tersebut, sehingga negara sering terpaksa harus menombokinya. Sebagai contoh, utang luar negeri Indonesia sampai saat ini menyentuh angka 143,3 miliar dolar AS. Jumlah tersebut terdiri dari utang luar negeri pemerintah sebesar 75,1 miliar dolar AS dan utang luar negeri swasta 68,2 miliar dolar AS.

Untuk menjawab persoalan di atas, maka kerangka berpikir kita harus lepas dari kondisi fakta yang ada sekarang ini. Dengan kata lain, kita berbicara dalam konteks Daulah Khilafah, dalam kerangka berpikir syar‘î, bukan dalam sistem yang ada sekarang. Sebab, dalam payung Daulah Islamiyah, tidak dibenarkan seorang individu Muslim ataupun negara, melakukan pendekatan dan pemecahan apa pun kecuali hanya dengan pendekatan atau pemecahan yang sesuai dengan hukum Islam, termasuk dalam hal ini penyelesaian utang luar negeri ‘warisan rezim terdahulu’.

Hasil dokumentasi pada masa Kekhalifahan Turki Utsmani, sumber : republika.co.id

Allah Swt. telah mewajibkan kepada kita, baik selaku individu maupun penguasa di dalam Daulah Khilafah Islamiyah, untuk selalu terikat dengan berbagai transaksi (akad), baik antar sesama kaum Muslim maupun antara kaum Muslim dengan orang-orang atau negara kafir. Dengan catatan, selama transaksi/akad tersebut tidak bertentangan dengan sistem hukum Islam. Allah Swt. berfirman:

Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu. (QS al-Mâ’idah [5]: 1).

Ayat ini berbentuk perintah (dengan kategori wajib) dari Allah Swt. kepada kaum Muslim untuk selalu menepati transaksi-transaksi yang telah mereka lakukan. Utang luar negeri, baik yang dilakukan oleh perorangan, institusi/perusahaan, maupun negara, adalah termasuk dalam salah satu jenis transaksi/akad, yaitu transaksi utang-piutang. Apabila seseorang, perusahaan, ataupun negara, menjalin utang-piutang dengan pihak lain—baik dengan perorangan, institusi/perusahaan, maupun negara lain—maka mereka harus menunaikan transaksi itu hingga transaksi tersebut selesai/berakhir, yaitu dilunasinya utang.

Berubahnya kondisi masyarakat ataupun sistem pemerintahan dan perundang-undangan tidak bisa menggugurkan transaksi utang-piutang.Misalnya, utang yang dilakukan oleh seseorang, perusahaan, ataupun penguasa sebelum berdirinya Daulah Islamiyah, tetap menjadi utang yang harus dibayar.Jika Daulah Islamiyah telah berdiri, sementara utang belum lunas, transaksi utang-piutang yang sudah mereka sepakati tidak gugur begitu saja.Hukum untuk menepati berbagai akad adalah wajib, selama akad-akad tersebut tidak bertentangan dengan sistem hukum Islam.

Di samping itu, Daulah Islamiyah, tatkala baru berdiri, harus memperhatikan konstelasi politik internasional.Dalam hal ini, Daulah harus menciptakan imej di tengah-tengah masyarakat internasional, sebagai Daulah yang adil, bertanggung jawab dan berusaha meraih dukungan masyarakat internasional untuk menghadapi negara-negara besar yang memusuhi dan memerangi Daulah Islamiyah. Salah satu manuver yang dilakukan Daulah Islamiyah untuk menarik simpati masyarakat internasional adalah dengan tetap membayar sisa cicilan utang pokok ‘rezim’ sebelumnya.

Lalu, bagaimana caranya Daulah Islamiyah membayar sisa cicilan utang pokoknya,dari mana uang yang diperoleh Daulah Islamiyah untuk membayar utang-utang ‘rezim’ sebelumnya ?

Ilustrasi hutang, sumber : jurnalinspirasi.co.id

Menyikapi persoalan ini, ada beberapa langkah yang harus ditempuh oleh Daulah Islamiyah, antara lain:

1. Harus dipisahkan antara utang luar negeri yang dilakukan oleh pemerintah sebelumnya dengan utang yang dilakukan oleh pihak swasta (baik perorangan maupun perusahaan). Hal ini menyangkut siapa yang memiliki kewajiban membayar. Jika utang itu utang swasta, merekalah yang harus membayar. Sebaliknya, jika utang itu melibatkan penguasa ‘rezim’ sebelum munculnya Daulah Islamiyah, maka Daulah Islamiyah—sebagai penguasa baru—harus mengambilalih sisa cicilan pembayarannya, sebagai akibat bahwa transaksi utang itu dilakukan antara government to government.

2. Sisa pembayaran utang luar negeri hanya mencakup sisa cicilan utang pokok saja, tidak meliputi bunga, karena, syariat Islam jelas-jelas mengharamkan bunga. Firman Allah Swt.:

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika kalian orang-orang yang beriman. (QS al-Baqarah [2]: 278).

Ayat ini mengharuskan Daulah Islamiyah, individu maupun perusahaan yang memiliki utang luar negeri, membayar/melunasi sisa cicilan pokoknya saja. Diharamkan untuk menghitung serta membayar sisa bunga utang.

3. Meskipun diwajibkan untuk melunasi sisa cicilan pokok utang luar negeri, Daulah Islamiyah harus menempuh berbagai cara untuk meringankan bebannya dalam pembayaran; bisa dilakukan lobi agar pihak donor bersedia memberikan cut off (pemutihan). Jika langkah ini berhasil, berarti tidak lagi menjadi beban Daulah. Namun bila cara ini gagal, untuk mengurangi tekanan beban pembayaran dalam interval waktu yang amat pendek, bisa diminta rescheduling (penjadwalan pembayaran utang yang lebih leluasa waktunya).

4. Utang ‘rezim’ sebelumnya, akan dibayar Daulah dengan mengambil seluruh harta kekayaan yang dimiliki secara tidak sah oleh penguasa ‘rezim’ sebelumnya beserta kroni-kroninya. Deposito mereka yang diparkir di berbagai bank luar negeri, entah itu di Swiss, Kepulauan Cayman, Singapura dan lain-lain, akan dijadikan jaminan oleh Daulah bagi pembayaran sisa utang luar negeri. Jumlah deposito harta kekayaan para penguasa Muslim yang zalim, yang ada di luar negeri saat ini, ‘lebih dari cukup’ guna memenuhi warisan utang luar negeri ‘rezim’ sebelumnya. Seandainya akumulasi deposito harta kekayaan mereka masih kurang untuk menomboki sisa utang, Daulah Islamiyah harus mengambil-alih utang tersebut dan menalanginya dari pendapatan Daulah. Misalnya, bisa menggunakan harta yang berasal dari pos jizyah, cukai perbatasan, atau badan usaha milik Daulah. Daulah Islamiyah, sejauh mungkin menghindarkan penggunaan harta yang berasal dari pemilikan umat (seperti hasil hutan, barang-barang tambang, dan sebagainya) untuk pembayaran utang. Sebab, yang berutang adalah penguasa ‘rezim’ sebelumnya, bukan rakyatnya.

5. Sementara itu, utang luar negeri yang dipikul swasta (baik perorangan maupun perusahaan) dikembalikan kepada mereka untuk membayarnya. Misalnya, bisa dengan menyita dan menjual aset perusahaan yang mereka miliki. Jika jumlahnya masih kurang untuk menomboki utang luar negerinya, Daulah Islamiyah bisa mengambil paksa harta kekayaan maupun deposito para pemilik perusahaan sebagai garansi pembayaran utang luar negeri mereka. Kenyataannya, amat banyak para konglomerat yang memiliki simpanan harta kekayan pribadi yang luar biasa besarnya dan diparkir di luar negeri. Terhadap simpanan mereka di luar negeri, Daulah bisa menjadikannya sebagai jaminan pelunasan utang-utang mereka. Namun, bila jumlah harta kekayaan mereka belum mencukupi juga, Daulah harus mengambil-alih dan menalangi utang-utang mereka, karena Daulah adalah penjaga dan pemelihara (Râ’in) atas seluruh rakyatnya, tanpa kecuali.

Demikianlah, beberapa langkah praktis yang bisa dilakukan oleh Daulah Islamiyah guna mengatasi beban warisan utang luar negeri ‘rezim’ penguasa sebelumnya. Penyelesaian ini tanpa mengganggu gugat aset harta kekayan yang dimiliki oleh masyarakat, yang dikelola oleh Daulah untuk kemaslahatan dan kemakmuran seluruh masyarakat.

Ilustrasi ekonomi Islam, sumber : kompasiana.com

Penyelesaian ini, secara bersamaan, akan menjatuhkan cengkeraman negara-negara Barat Kapitalis atas negeri-negeri Islam, memutus ketergantungan laten yang membahayakan eksistensi negeri-negeri Islam, dan memberikan kepercayaan diri yang amat besar bagi kaum Muslim—bahwa mereka memiliki kemampuan dan kekayaan yang amat besar.

Namun demikian, perlu diingat, bahwa hal ini hanya bisa dilakukan tatkala Daulah Islamiyah berdiri.Sebab, saat ini tidak ada satu negeri Islam pun atau seorang penguasa pun dari sekian banyak penguasa Muslim, yang berani dan tegas untuk memutus rantai utang luar negeri, karena hal itu sama dengan menghadapi IMF dan Bank Dunia yang di-backing AS dan sekutunya. Apalagi para penguasa Muslim saat ini tidak mempunyai gambaran yang jelas dan rinci tentang alternatif pendapatan negara maupun alternatif pembayaran utang luar negeri, kecuali dengan mengemis dari luar negeri lagi. Gali lubang tutup lubang. Lalu sampai kapan? Wallâhu a‘lam bi ash-shawwâb. []


Terimakasih sudah berkenan menyimak tulisan yang berjudul “Daulah Khilafah Berdiri, Haruskah Melunasi Utang Luar Negeri Sebelumnya?”. Kami dari anaksholeh.net telah menambahkan link, gambar, featured image, perbaikan pada judul dan pemberian pembuka serta penutup. Jika dirasa tulisan ini bermanfaat, silahkan share ke berbagai platform social media yang ada. Jazakumullah khair

Leave a Comment