Hukum Boncengan dengan Wanita Tua

Pertanyaan:

Apa hukum membonceng (dengan sepeda motor) dosen/guru wanita yang usianya 60-an lebih?

(Fahmi Ibnu Suwandi)

Jawaban :

Memboceng wanita yang bukan mahrom dengan sepeda motor terkategori khalwat. Secara ringkas khalwat artinya berdua-duan. Dalam kitab an-nizhomul ijtima’I fil islam disebutkan:

والخلوة هي أن يجتمع الرجل والمرأة في مكان لا يمكِّن أحداً من الدخول عليهما إلا بإذنهما، كاجتماعهما في بيت، أو في خلاء بعيد عن الطريق والناس

Khalwat adalah berkumpulnya seorang lelaki dan seorang wanita di suatu tempat yang tidak memungkin seorang pun untuk bergabung dengan keduanya kecuali atas ijinnya. Contonya berkumpul di rumah, atau di tempat yang jauh dari jalan dan manusia. (an-nidzomul ijtima’I fil islam.hal 49  )

Sepeda motor adalah tempat khusus, karena tidak setiap orang boleh menggankannya. Maka berkumpulnya dua orang (laki-laki dan wanita) di tempat khusus termasuk khalwat.

Apakah wanita berusia 60 tahun sudah menopause? Menopause adalah wanita yang sudah tidak mengalami haid dan tidak ada hasrat untuk menikah lagi. Para ulama berbeda pendapat kapan wanita mengalami menopause (berhenti haid). Sebagian mengatakan 50 tahun,yang lain 60 tahun, bahkan 70 tahun. Pendapat yang shahih adalah dikembalikan kepada masing-masing wanita karena faktanya memang berbeda-beda setiap wanita. Patokannya adalah berhentinya haid.

Apakah ada rukhshoh (keringanan) khalwat dengan wanita yang telah menopause? Ulama berbeda pendapat mengenai hal ini. Pendapat pertama menyatakan hukumnya haram kecuali ada kondisi darurat atau kebutuhan yang memaksa. Ini adalah pendapat Malikiyah,Syafi’iyyah, dan Hanabilah. Alasannya adalah keumuman dalil-dalil haramnya berkhalwat dengan wanita ajnabiyah (bukan mahro). Diantaranya:

{قُل لِّلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ }

Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya (QS: An-Nur: 30)

Wajhul istidlal (logika penarikan kesimpulan) adalah bahwa perintah menundukkan sebagian pandangan, artinya ada larangan untuk mengumbar pandangan. Terlebih berkhalwat.

Dari Ibnu ‘Abbas, Nabi bersabda:

لا يخلونَّ رجل بامرأة إلا مع ذي محرم” أخرجه البخاري

Jangan seorang lelaki berdua-duaan dengan perempuan kecuali (perempuan tsb) disertai mahrom (HR. Bukhari, no. 4935)

Kedua, pendapat ulama Hanafiyah dan Malikiyah dalam satu pendapat yang menyatakan boleh berkhalwat dengan wanita tua. (ahkamul khalwah fi fiqhil islam, hal. 63). Dalilnya adalah firman Allah:

وَالْقَوَاعِدُ مِنَ النِّسَاءِ اللَّاتِي لَا يَرْجُونَ نِكَاحًا فَلَيْسَ عَلَيْهِنَّ جُنَاحٌ أَنْ يَضَعْنَ ثِيَابَهُنَّ غَيْرَ مُتَبَرِّجَاتٍ بِزِينَةٍ وَأَنْ يَسْتَعْفِفْنَ خَيْرٌ لَهُنَّ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaianmereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan, dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Bijaksana (QS: an Nur:60).

Wajhul istidalnya adalah ‘illat pada ayat di atas berupa at takhfif (keringanan) untuk tidak memakai jilbab (baju luar). Padahal pada wanita tua sudah tidak ada fitnah.

Pendapat yang rajih adalah pendapat pertama (ahkamul khalwah fi fiqhil islam, hal. 64).  Karena dalil-dalil yang mengharamkannya bersifat umum.Kaidah syara’ menyatakan:

والعام يجري على عمومه ما لم يرد دليل التخصيص

Makna umum tetap dalam keumumannya selama tidak ada dalil yang mengkhususkannya (an-nidzomul ijtima’I fil islam. hal 94)

Mengenai argument pendapat kedua, surah an Nur: 60 memang menjelaskan keringanan untuk tidak memakai jilbab sebagai pakaian luar bagi wanita yang tidak memiliki hasrat untuk menikah. Akan tetapi dugaan adanya ‘illat berupa berupa takhfif (keringanan) bagi wanita yang menopause tidaklah dapat diterima karena tidak diterimanya ‘illat dalam perkara pakaian.

Wallahu ‘alam bi shawab

Banjarmasin, 29 Rabi’ul Akhir 1435 H/ 28 Februari 2014

Wahyudi Abu Syamil