Adanya denda dalam transaksi keuangan yang terjadi disekitar masyarakat adalah hal yang lumrah kita jumpai. Praktek tersebut paling marak dilakukan didunia pebankan, baik konvensional maupun bank syariah. Tujuannya adalah menjaga agar orang yang berhutang konsisten dalam membayar hutangnya sehingga tidak terjadi kredit macet. Banayk dari kalangan masyarakat biasa hingga pengusaha jasa rental mobil mendapati hal tersebut. Sebenarnya seperti apakah hukumnya dalam Islam. Simak artikel yang berjudul asli “Hukum Denda di Bank Syariah” ini. Semoga bisa mencerahkan.
==================
Tanya :
Ustadz, mohon pencerahan tentang fatwa sanksi denda yang terdapat dalam fatwa DSN MUI (Dewan Syariah Nasional MUI) nomor 17/DSN-MUI/IX/2000, dengan ketentuan;
(1) nasabah yang tidak mampu yang disebabkan alasan force majeur tidak boleh dikenakan sanksi;
(2) denda dikenakan kepada nasabah mampu tapi tidak punya kemauan dan itikad baik melunasi utang;
(3) tujuan sanksi agar nasabah lebih disiplin menjalankan kewajibannya;
(4) besarnya sanksi ditentukan berdasarkan kesepakatan dan dibuat saat akad ditandatangani;
(5) dana dari denda diperuntukkan sebagai dana sosial.
(Tarnie, Semarang).
Jawab :
Memang sebagian ulama kontemporer (termasuk DSN MUI) telah membolehkan denda finansial di lembaga keuangan syariah (seperti bank syariah) sebagai ta’zir kepada nasabah yang mampu tetapi menunda pembayaran utangnya. (Abdullah Mushlih & Shalah Shawi, Maa Laa Yasa’u al Tajir Jahluhu, hlm. 337).
Dalilnya antara lain sabda Nabi SAW, ”Menunda pembayaran utang oleh orang kaya adalah suatu kezaliman.” (Arab : mathlul ghaniy zhulmun). (HR Bukhari). Juga sabda Nabi SAW, ”Menunda pembayaran utang oleh orang yang mampu telah menghalalkan kehormatannya dan sanksi kepadanya.” (Arab : layyul waajid yuhillu ‘irdhahu wa ‘uquubatahu). (HR Ahmad, Abu Dawud, Nasa`i, Ibnu Majah, dan Al Hakim).
Menurut sebagian ulama tersebut hadits-hadits di atas dianggap sebagai dalil bahwa jika nasabah yang mampu menunda pembayaran utangnya, maka ia dapat dikenakan sanksi (‘uqubat), termasuk denda finansial. (Abdullah Mushlih & Shalah Shawi, ibid., hlm. 337).
Namun pendapat yang membolehkan denda finansial tersebut ternyata ditolak oleh sebagian ulama kontemporer lainnya. Pendapat yang tidak membolehkan denda finansial inilah yang kami anggap lebih kuat (rajih) walaupun dikenakan kepada nasabah yang mampu. (Lihat : Ali Ahmad As Salus, Mausu’ah Al Qadhaya Al Fiqhiyyah al Mu’ashirah wa Al Iqtishadi Al Islami, hlm. 449; Ahmad Al Jazzar Muhammad Bisynaq, Al Syarth Al Jaza`iy wa Al Bada`il Al Syar’iyyah Lahu, hlm. 169-170; Prof. Dr. Ali Muhammad Al Husain Al Showa, Al Syarth Al Jaza`iy fi Al Duyuun : Dirasah Fiqhiyyah Muqaranah, hlm. 23-25).
Alasan-alasan mengapa denda finansial tidak boleh dikenakan walaupun kepada nasabah yang mampu, antara lain;
Pertama, bank syariah tidak mempunyai kewenangan (sholahiyah/wilayah) untuk menjatuhkan sanksi berupa denda finansial yang diklaim sebagai sanksi ta’zir. Sebab yang berhak menjatuhkan sanksi ta’zir hanyalah peradilan syar’i (al qadha` al syar’i) saja, yang menjadi wakil (na`ib) dari Imam (Khalifah). (Abdurrahman Al Maliki, Nizham Al ‘Uqubat, hlm. 7).
Kedua, hadits yang digunakan sebagai dalil tidak tepat, yaitu hadits yang menghalalkan kehormatan dan sanksi (‘uqubat) kepada orang mampu yang menunda pembayaran utangnya. Karena meski orang mampu yang menunda pembayaran utang layak dijatuhi hukuman (‘uqubat), tapi tak pernah ada seorang qadhi (hakim) atau fuqaha pun dalam sepanjang sejarah Islam yang menjatuhkan hukuman berupa denda. Padahal kasus semacam ini banyak sekali terjadi di berbagi kota di negeri-negeri Islam. Jumhur fuqaha berpendapat hukumannya adalah ta’zir, yaitu ditahan (al habs) meski sebenarnya boleh saja bentuk ta’zir lainnya. (Abdullah Mushlih & Shalah Shawi, ibid., hlm. 338; Ali Ahmad As Salus, ibid., hlm. 449).
Ketiga, denda karena terlambat membayar utang mirip dengan riba, terlebih lagi yang sudah disepakati di awal akad. Maka denda seperti ini dihukumi sama dengan riba sehingga haram diambil. Kaidah fiqih menyebutkan maa qaaraba al syai’a u’thiya hukmuhu. (Apa saja yang mendekati/mirip dengan sesuatu, dihukumi sama dengan sesuatu itu). (Muhammad Shidqi Burnu, Mausu’ah al Qawa’id al Fiqhiyah, IX/252). Wallahu a’lam.[] (M. Shiddiq al Jawi)
=================
Semoga tulisan diatas bisa bermanfaat bagi kita semua. Sahabat semua bisa membantu masyarakat agar mengetahui perkara ini. Sehingga praktek denda diketahui hukumnya oleh mereka. Bisa jadi ada pengambil kebijakan dari lembaga keuangan syariah yang membacanya lalu kemudian mampu merubah keputusan tersebut. Silahkan gunakan tombol berbagi dan bagikan melalui sosial media yang ada.