Hukum-hukum Seputar Ramadhan (Hisab, Imsak, Safat & Pembatal Puasa)

Puasa ramadhan merupakan salah satu ibadah wajib bagi umat islam yang sudah terkena taklif puasa. Namun sebagian orang masih banyak yang belum tahu soal hukum-hukum yang berkaitan dengan puasa, misalnya apakah yang disebut hisab, waktu imsak itu kapan? waktu fajar hingga hal yang membatalkan puasa. Simak artikel di bawah ini hingga akhir.


Soal:

Banyak perkara yang kita anggap kecil diabaikan selama pelaksanaan bulan Ramadhan. Hal itu sering kita anggap sebagai sesuatu yang jamak, yaitu menjadi kebiasaan sehari-hari selama bulan suci dan pada akhirnya dianggap sebagai sesuatu yang benar. Apakah hal-hal seperti hisab, waktu imsak (beberapa menit sebelum fajar), fajar (masuk waktu subuh), safar (perjalanan selama bulan suci), yang membatalkan puasa, dan sejenisnya yang banyak dipahami masyarakat selama ini sudah benar?

Jawab:

Shaum (berpuasa) secara bahasa bermakna imsak, yaitu menahan, sedangkan secara syar‘î memiliki arti menahan diri dari segala sesuatu yang dapat membatalkan sejak mulai terbit fajar subuh hingga terbenamnya matahari (ghurûb), disertai dengan niat. Firman Allah Swt. yang mewajibkan shaum adalah:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa, (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. (QS al-Baqarah [2]: 183-184).

Adapun perintah penentuan masuknya bulan Ramadhan adalah melalui metode ru’yat al-hilâl (melihat bulan sabit–Ramadhan), bukan hisab (berdasarkan perhitungan matematis). Nabi saw. bersabda:

«صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوْا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِيْنَ يَوْمًا»

Berpuasalah kalian karena melihat bulan (sabit Ramadhan) dan berbukalah kalian juga karena melihat bulan (sabit Syawal). Jika (penglihatan) terhalang oleh awan maka genapkanlah bilangan Sya’ban itu tiga puluh hari. (HR al-Bukhari-Muslim).

Metode ru’yat al-hilâl adalah metode yang sangat sederhana, bisa dilakukan oleh siapa pun, selama matanya awas, tidak terganggu oleh awan pada saat ru’yat, dan orang tersebut sudah terbiasa melakukannya. Artinya, penentuan awal masuk bulan Ramadhan atau bulan-bulan lainnya (seperti Syawal atau Dzulhijjah) telah Allah Swt. tempatkan pada kondisi yang sangat mudah, yang setiap orang dapat melakukannya. Kesaksian satu orang laki-laki yang adil dalam penetapan awal bulan Ramadhan melalui ru’yat dapat diterima. Sedangkan untuk penentuan awal bulan Syawal, kesaksiannya paling kurang terdiri dari dua orang laki-laki yang adil. Oleh karena itu, wajib shaum bagi setiap orang yang melihat hilal Ramadhan, atau sampainya berita tersebut yang berasal dari seseorang yang dipercaya tentang masuknya bulan Ramadhan.

Hukum-hukum Seputar Ramadhan (Hisab, Imsak, Safat & Pembatal Puasa)
Ilustrasi seputar puasa, sumber unsplash

Makan sahur hukumnya sunnah, bukan wajib. Rasulullah saw. bersabda:

«تَسَحَّرُوْا فَإِنَّ فِي السَّحُوْرِ بَرَكَةً»

Makan sahurlah kalian, karena (makan sahur) itu mengandung berkah. (HR  al-Bukhari).

Untuk berbuka dianjurkan menyegerakannya (ta’jîl), bukan memperlambatnya. Rasulullah saw. bersabda:

«لاَ يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوْا الفِطْرَ»

Orang-orang akan memperoleh kebajikan selagi mereka menyegerakan berbuka. (HR al-Bukhari).

Jika fajar subuh telah muncul, yaitu cahaya putih di ufuk Timur, maka setiap orang yang shaum harus menahan diri (imsak) dari perkara yang membatalkan shaumnya, baik orang itu mendengar suara azan atau tidak. Rasulullah saw. bersabda:

«فَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا حَتَّى يُؤَذِّنَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُوْمٍ»

Makan dan minumlah sampai terdengar azannya Ummi Maktum. (HR al-Bukhari-Muslim).

Maksudnya, makan dan minumlah kalian pada malam bulan Ramadhan, hingga terbit fajar (yang ditandai dengan azannya waktu subuh oleh Ummi Maktum). Jadi, waktu imsak yang umumnya dimulai 10 menit sebelum masuk waktu subuh (fajar) bukanlah syariat Nabi saw.

Orang yang melakukan safar (bepergian) pada bulan Ramadhan memperoleh rukhshah (keringanan) berupa dibolehkannya untuk tidak shaum. Meski demikian, ia harus mengganti shaumnya selama waktu yang ditinggalkannya itu di luar bulan Ramadhan. Tentu saja, yang dimaksud safar di sini adalah safar yang syar‘î, yaitu tujuan perjalanannya melampaui batas-batas jarak safar yang syar‘î. Dalam hal ini keadaan yang menyertai si musafir bukan lagi menjadi alasan dibolehkannya rukhshah ini atau tidak. Oleh karena itu, meski ia melakukan perjalanan dengan pesawat terbang atau unta, melewati daerah yang panas atau sejuk, disertai pembantu atau tidak, semua itu tidak mempengaruhi rukhshah-nya. (Ibn Taimiyah, Majmû‘ al-Fatawâ Ibn Taimiyah, jld. 25/210). Dengan demikian, orang-orang yang memiliki profesi seperti pilot pesawat terbang, supir bus antarkota, masinis kereta api, jasa kurir antarkota, dan sejenisnya dibolehkan mengambil rukhshah tatkala melakukan safar, dan mengganti shaumnya di luar bulan Ramadhan.

Hal itu merupakan pelaksanaan dari ayat:

وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْأَيَّامٍ أُخَرَ

Siapa saja yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah) baginya berpuasa sebanyak hari yang ditingalkannya itu pada hari-hari yang lain. (QS al-Baqarah [2]: 185).

Ayat ini juga menunjukkan bahwa siapa pun yang tidak memiliki alasan untuk mengambil rukhshah (boleh tidak shaum), ia tidak boleh berbuka. Jadi, orang-orang yang memiliki profesi ‘berat’ seperti para penggali di terowongan (pertambangan) batubara, emas; nelayan, petani, kuli-kuli angkut, tukang beca, sopir, pekerja di rig-rig minyak lepas pantai, dan sejenisnya tidak diberikan rukhshah atau keringanan. Mereka tetap wajib berpuasa. Begitu pula mahasiswa atau pelajar yang sibuk ujian selama bulan Ramadhan; hal itu bukanlah alasan yang membolehkannya untuk berbuka.

Ilustrasi makanan, sumber: Food 2 (unsplash.com)
Ilustrasi makanan, sumber: Food 2 (unsplash.com)

Apabila seseorang yang sedang berpuasa meneteskan obat kedalam hidung atau menuangkan air pada luibang telinganya sehingga air itu sampai kedalam rongga otak, maka batallah puasanya berdasarkan hadis Baqith bin Sha’bah r.a. yang berkata: “Aku berkata: ya Rasulullah, kabarkan kepadaku tentang wudhu. Beliau bersabda: sempurnakanlah wudhu, renggangkanlah di antara jari-jari, dan banyaklah menghirup air melalui hidung kecuali engkau sedang puasa.”

Makna tersirat dari ungkapan: ‘banyak-banyaklah’ adalah dilarang berlebihan menghirup air melalui hidung bila berpuasa agar air itu tidak masuk ke rongga otak. (Ali Raghib, Ahkam ash-Sholat).

Demikianlah beberapa penjelasan ringkas mengenai perkara-perkara yang sering kita temukan dalam kehidupan sehari-hari selama bulan Ramadhan. Semoga hal itu menambah kewaspadaan kita selama pelaksanaan shaum Ramadhan dengan menjauhi perkara-perkara yang haram, dan memperbanyak amal ibadah agar kita mampu meraih target, yaitu derajat takwa. Jangan sampai shaum kita cuma memperoleh haus dan lapar saja. Rasulullah saw. bersabda:

«رُبَّ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلاَّ الْجُوْعُ»

Betapa banyak orang yang berpuasa, namun dia tidak mendapatkan (pahala dan target) shaumnya, kecuali rasa lapar saja. (HR Ibn Majah). [AF]


Terimakasih sudah berkenan membaca hingga akhir artikel yang berjudul asli “Hukum-hukum Seputar Ramadhan”. Semoga menjadi ilmu yang bermanfaat. Artikel kami telah menambahkan gambar, link, serta perubahan pada judulnya agar lebih menarik. Jika dirasa akan membantu saudara kita yang lain, silahkan share melalui sosial media artikel ini. Jazakumullah khair.

Leave a Comment