Hukum Mengarang Cerita Fiksi

Tanya:

Ustadz, bolehkah mengarang cerita fiksi, seperti cerpen, novel dll?

Jawab :

Para ulama kontemporer berbeda pendapat mengenai hukum membuat kisah fiksi (qashsash khayaaliyyah);Pertama, ada ulama yang mengharamkan, karena dianggap membuat kebohongan (al kadzib). Kitab Fatawa Lajnah Da`imah (12/187) menyatakan, “Haram bagi seorang Muslim untuk menulis kisah-kisah bohong (fiksi), karena dalam kisah-kisah Alquran dan hadits Nabi dan yang lainnya yang menceritakan fakta dan merepresentasikan fakta, sudah cukup sebagai pelajaran dan nasihat yang baik.”

Kedua, sebagian ulama membolehkan, seperti Syeikh Ibnu Utsaimin, dengan syarat isi cerita fiksi menggambarkan hal-hal yang boleh (jaiz) menurut syara’, tidak menggambarkan hal-hal yang diharamkan, dan secara jelas menyampaikan kepada pembaca bahwa yang disampaikan adalah fiksi bukan kenyataan, agar tidak jatuh dalam kebohongan. (Lihat : Ibnu Utsaimin, Fatawa  Muwazhzhafiin, soal no. 24).

Pendapat yang rajih (kuat), adalah yang membolehkan membuat cerita fiksi asalkan terikat dengan syarat-syarat syar’i agar tidak terjatuh dalam kebohongan atau keharaman.

Dalil yang membolehkan membuat cerita fiksi adalah dalil As Sunnah. Dalam hadits yang menjelaskan bahwa orang yang melakukan yang syubhat (tak tegas halal atau haramnya) dapat terjerumus kepada keharaman, Rasulullah SAW telah membuat perumpamaan dengan bersabda : “Seperti seorang penggembala yang menggembalakan [ternaknya] di sekitar tanah larangan (himaa) yang hampir-hampir dia masuk ke dalam tanah larangan itu.” (HR Bukhari dan Muslim).

Syeikh Ibnu Utsaimin berkata, “Di antara faidah hadits ini adalah, bolehnya membuat perumpamaan dalam rangka memperjelas suatu perkara maknawi (tak konkret) dengan perumpamaan sesuatu yang yang inderawi (konkret). Artinya, menyerupakan sesuatu yang ma’quul (obyek pikiran) dengan yang mahsuus (obyek terindera) untuk mendekatkan pemahamannya.” (Syeikh Ibnu Utsaimin, Al Arba’uun An Nawawiyyah bi Taliqaat Syaikh Ibnu Utsaimin, hlm. 4).

Berdasarkan dalil tersebut, boleh hukumnya seorang Muslim membuat kisah fiksi. Namun agar tidak terjatuh dalam kebohongan atau keharaman, kebolehan membuat cerita fiksi tersebut terikat dengan dua syarat :Pertama, pembuat cerita fiksi wajib menyampaikan kepada pembacanya, baik secara implisit atau eksplisit, bahwa apa yang diucapkan atau ditulisnya adalah cerita fiksi atau khayalan, bukan kenyataan, agar pengarang cerita fiksi tidak jatuh dalam kebohongan. Dalil syarat ini adalah dalil-dalil Alquran atau hadits yang mengharamkan seorang Muslim berbohong.

Kedua, kandungan (content) cerita fiksi tidak boleh bertentangan dengan akidah atau syariah Islam. Misalnya berisi ajakan beramar makruf nahi mungkar, berbakti kepada orang tua, bersikap jujur, mendorong berani berjihad di jalan Allah, mendorong berani melawan penguasa yang zalim, dan sebagainya. Sebaliknya haram hukumnya membuat cerita fiksi yang berisi pemikiran-pemikiran kufur, semisal sekularisme, demokrasi, nasionalisme, liberalisme, pluralisme, dsb. Atau kisah-kisah cinta atau cabul yang jauh dari akhlak islami. Dalil syarat kedua ini adalah dalil-dalil yang mewajibkan Muslim berkata benar sesuai syariah Islam. Misalnya firman Allah SWT (artinya) : “Wahai orang-orang yang beriman bertakwalah kamu kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar.” (TQS Al Ahzab [33] : 70). Juga sabda Rasulullah SAW: “Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka berkatalah yang baik atau diam.” (HR Bukhari dan  Muslim).Wallahu a’lam.

Sumber: Tabloid Media Umat edisi 127