Mengenal Jenis Tanah dan Hukum Sewa Menyewa Tanah dalam Islam

Transaksi sewa menyewa sudah menjadi sebuah kelumrahan di tengah masyarakat kita. Baik berkenaan dengan jasa tertentu atau jenis barang atau bangunan tertentu dengan kompensasi berupa harta. Kali ini kita bahas hukum sewa menyewa tanah dalam islam.

Secara geografis Indonesia adalah Negara dengan komposisi yang luar biasa. Terdiri dari lautan yang luas, juga lahan pertanian yang luas dan subur. Jika Anda berada di pedesaan tentunya sudah familiar dengan transaksi sewa menyewa lahan pertanian.

Namun sebelum kita berbicara untung rugi dari transaksi tersebut, nilai tolong menolong, produktifitas dan lain sebagainya, pernahkah Anda bertanya apakah model transaksi tersebut dibolehkan atau tidak. Dan masih banyak lagi model bisnis baru yang belum kita pahami boleh tidaknya untuk diamalkan, sebut saja bisnis start up.

Seorang hamba, lebih jelas lagi kaum muslim dalam kehidupannya berikut semua tindak-tanduk, semua lingkup perbuatannya dari setiap lini kehidupannya senantiasa terikat dengan syariat sang pencipta atau dengan kata lain terikat dengan halal dan haram.

Telah jelas perkara tersebut sebagaimana yang dijelaskan dalam kaidah fiqh yang artinya: “ hukum asalah perbuatan seorang hamba adalah terikat dengan hukum syara’ ”. Sehingga sepatutnya sebelum berbuat kita sudah tahu mengenai hukum perbuatan itu.

Pada kesempatan kali ini kita akan membahas terkait lahan pertanian secara mendalam, termasuk di dalamnya hukum dari lahan pertanian itu sendiri. Untuk itu, tetap bersama kami sampai selesai.

Transaksi sewa menyewa sudah menjadi sebuah kelumrahan di tengah masyarakat kita. Baik berkenaan dengan jasa tertentu atau jenis barang atau bangunan tertentu dengan kompensasi berupa harta. Kali ini kita bahas hukum sewa menyewa tanah dalam islam.
Jenis tanah dalam islam, sumber: blog.elevenia.co.id

Mengenal Hukum Pertanahan

Dalam islam, hukum pertanahan didefinisikan sebagai hukum-hukum islam mengenai tanah dalam kaitannya dengan kepemilikan atau milkiyah, pengelolaan atau tasharruf dan pendistribusiannya atau tauzi’ tanah. (Mahasari, Pertanahan dalam Hukum Islam, hal. 39)

Di dalam studi hukum islam, hukum sewa menyewa tanah atau tentang pertanahan dikenal dengan istilah Ahkam Al-Aradhi. (Al-Nabhani, An-Nizham Al-Iqtishadi fi Al-Islam, hal 128). Pada umumnya para ahli hukum islam atau fuqaha membahas hukum pertanahan ini dalam pengelolaan mengenai harta benda (Al-Amwal).

Baca juga: Apa hukum membangun bangunan diatas kuburan

Sebagaimana Imam Al-Mawardi (w. 224 H) dalam kitabnya Al-Ahkam Al-Sulthaniyah membahas pertanahan. Ulama lain seperti Imam Abu Yusuf (w. 193 H) dalam kitabnya Al-Kharaj, Imam Yahya bin Adam (w. 203 H) dalam kitabnya Al-Kharaj dan Abu Ubaid dalam kitabnya Al-Amwal.

Pada era modern sekarang pun tidak sedikit ulama yang membahas hukum pertanahan dalam perspektif islam. Misalnya Abdul Qadim Zallum (w. 2003) dalam kitabnya Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah, Athif Abu Zaid Sulaiman Ali dalam kitabnya Ihya’ Al-Aradhi al-Mawat fi al-Islam dan amin syauman dengan kitabnya Bahtsun fi Aqsam Al-Aradhiin fi Asy-Syariah Al-Islamiyah wa Ahkamuhaa.

Dalam kitab-kitab para fuqaha dan ulama tersebut menjelaskan secara singkat hukum mengenai pertanahan dalam syariah islam, khususnya yang terkait dengan kepemilikan, pemanfaatannya dan pendistribusian kepemilikan.

Filosofi Kepemilikan Tanah

Di dalam pandangan islam, segala apa yang ada di langit dan bumi termasuk tanah, pada dasarnya adalah milik Allah SWT semata. Dalam Al-Quran disebutkan: “ Dan kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan kepada Allah-lah kembali (semua makhluk).” (TQS An-Nuur: 42).

Di dalam pandangan islam, segala apa yang ada di langit dan bumi termasuk tanah, pada dasarnya adalah milik Allah SWT semata. Dalam Al-Quran disebutkan: “ Dan kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan kepada Allah-lah kembali (semua makhluk).” (TQS An-Nuur: 42).
Mengenal filosofi kepemilikan tanah dalam islam, sumber: hukumonline.com

Dalam ayat lain: “Kepunyaan-Nyalah kerajaan langit dan bumi, Dia menghidupkan dan mematikan dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (TQS Al-Hadid: 2)

Pada ayat-ayat tersebut menjelaskan pada kita bahwa pemilik hakiki dari segala sesuatu (termasuk tanah) adalah Allah SWT semata. Kemudian Ia sebagai pemilik hakiki memberikan kuasa kepada manusia untuk mengelola milik Allah ini sesuai dengan hukum-Nya.

Allah berfirman, “ Dan nafkankanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya.” (TQS Al-Hadid: 7). Menafsirkan ayat ini, Imam Al-Qurthubi berkata, “ Ayat ini adalah dalil bahwa asal usul kepemilikan (ashlul milki) adalah milik Allah SWT dan bahwa manusia tak mempunyai hak keciali memanfaatkannya dengan cara yang Allah ridhai.” (Tafsir Al-Qurthubi, Juz 1 hal. 130)

Demikianlah islam sudah menerangkan secara jelas filosifi kepemilikan tanah dalam islam. Intinya ada dua poin yaitu, pemilik hakiki dari tanah adalah Allah SWT dan Dia telah memberikan kuasa kepada manusia untuk mengelolanya sesuai ketentuan-Nya.

Kepemilikan Tanah dan Implikasinya

Kepemilikan dalam syariah islam didefinisikan sebagai hak yang ditetapkan oleh Allah bagi manusia untuk memanfaatkan suatu benda. Kepemilikan tidaklah lahir dari realitas fisik suatu benda, melainkan dari ketentuan hukum Allah atas benda itu.

Islam telah mengatur persoalan kepemilikan tanah secara detil dan rinci, dengan mempertimbangkan dua aspek yang terkait dengan tanah, yaitu zakat tanah dan manfaat tanah, yakni penggunaan tanah untuk pertanian dan sebagainya.

Dalam syariah islam ada dua, macam tanah yaitu tanah usriyah dan tanah kharajiyah (Al-Nabhani, Al-Syakhsiyah Al-Islamiyah, Juz II hal. 237). Apa beda kedua tanah ini?

1. Tanah Usriyah

Tanah usriyah adalah tanah yang penduduknya masuk islam secara damai tanpa peperangan, contohnya madinah munawwarah dan Indonesia.

Tanah usriyah adalah tanah yang penduduknya masuk islam secara damai tanpa peperangan, contohnya madinah munawwarah dan Indonesia.
Indonesia adalah jenis tanah usriyah, sumber: nasabamedia.com

Termasuk tanah usriyah adalah seluruh jazirah arab yang ditaklukkan dengan peperangan, misalnya makkah, juga tanah mati yang telah dihidupkan oleh seseorang (ihya’ul mawat). (Al-Nabhani, Al-Syakhsiyah Al-Islamiyah, Juz II hal. 237).

Tanah usriyah ini adalah tanah milik individu, baik zat tanahnya maupun pemanfaatannya. Maka individu boleh memperjualbelikan, menggadaikan, menghiahkan, mewariskan dan sebagainya.

Baca juga: Bagaimana hukum penggunaan mimbar di masjid

Tanah usriyah ini jika berbentuk tanah pertanian akan dikenai kewajiban usyr (yaitu zakat pertanian) sebesar sepersepuluh (10%) jika diairi dengan air hujan dan zakat sebesar 5% jika menggunakan irigasi buatan.

Rasulullah SAW bersabda: “ Pada tanah yang diairi sungai dan hujan zakatnya sepersepuluh, pada tanah yang diairi dengan unta zakatnya setengah dari sepersepuluh.” (HR Ahmad, Muslim dan Abu Dawud).

Jika tanah ini tidak berbentuk tanah pertanian, misalnya berbentuk tanah pemukinan penduduk, tidak ada zakatnya. Kecuali jika tanah itu diperdagangkan, maka terkena zakat perdagangan. (Al-Nabhani, ibid., Juz II hal. 240).

Jika tanah usyriyah dibeli oleh seorang non muslim atau kafir, tanah ini tidak terkena kewajiban usyr atau zakat, sebab non muslim tidak dibebani kewajiban zakat. (Abdul Qadim Zallum, Al-Amwal, hal. 48).

2. Tanah Kharajiyah

Tanah ini adalah tanah yang dikuasai oleh kaum muslimin melalui peperangan atau kebalikan dari tanah usriyah. Misalnya tanah irak, syam dan mesir kecuali jazirah arab. (Al-Nabhani, ibid., Juz II hal. 248).

Tanah ini adalah tanah yang dikuasai oleh kaum muslimin melalui peperangan atau kebalikan dari tanah usriyah. Misalnya tanah irak, syam dan mesir kecuali jazirah arab. (Al-Nabhani, ibid., Juz II hal. 248).
Tanah jazirah arab, irak, mesir dan syam adalah jenis tanah kharajiyah, sumber: islampos.com

Zat dari tanah ini adalah milik seluruh kaum muslimin yang dikelola oleh Negara. Jadi tanah kharajiyah zatnya bukan milik individu seperti tanah usriyah, akan tetapi manfaatnya tetap menjadi milik individu.

Meskipun tanah kharajiyah dapat diperjualbelikan, dihibahkan dan diwariskan namun, berbeda dengan tanah usriyah, tanah kharajiyah tidak boleh diwakafkan. Sebab zatnya milik seluruh kaum muslim. Sedangkan tanah usriyah bisa diwakafkan karena zatnya milik individu. (Al- Nabhani, Muqaddimah Ad-Dustur, hal. 303).

Tanah ini jika berbentuk tanah pertanian akan terkena kewajiban pada pemanfaatannya berupa kharaj (pajak tanah) yaitu pungutan yang diambil Negara pertahun dari tanah pertanian dengan besaran sesuai dengan kondisi tanahnya. Biak ditanami atau tidak kharajnya tetap dipungut.

Tanah kharajiyah yang didapatkan atau dikuasai dengan jalan perang (al-harb), kharajnya bersifat abadi. Maksudnya tetap wajib dibayar kharajnya dan tidak akan pernah gugur, meskipun pemiliknya masuk islam atau tanahnya dijual oleh non muslim kepada seorang muslim.

Sebagaimana khalifah umar bin khattab tetap memungut kharaj dari tanah tersebut (kharajiyah) yang dikuasai karena perang meski pemiliknya sudah masuk islam. (Zallum, ibid., hal. 47; Al-Nabhani, ibid., Juz II hal. 245).

Akan tetapi jika tanah tersebut dikuasai dengan perdamaian, maka ada dua kemungkinan. Pertama, jika perdamaian itu menetapkan tanah itu menjadi milik kaum muslim, maka kharajnya bersifat tetap meski pemiliknya masuk islam atau dijual kepada seorang muslim.

Kedua, jika perdamaian tersebut menetapkan tanah kharajiyah itu menjadi milik mereka (non muslim) maka kedudukan kharaj (paja tanah) sama dengan jizyah, yang akan gugur jika pemiliknya masuk islam atau dijual kepada seorang muslim. (Zallum, ibid., hal. 47).

Jika tanah tersebut bukan tanah pertanian, tetapi berbentuk pemukiman penduduk, maka tanah tersebut tidak terkena kewajiban kharaj. Juga tidak ada kewajiban usyr (zakat), kecuali tanah tersebut diperjualbelikan, maka akan terkena zakat perdagangan. (Al-Nabhani, ibid., Juz II hal. 247).

Terkadang kharaj dan usyr harus dibayar bersama pada satu tanah. Yaitu jika ada tanah kharajiyah yang dikuasai melalui perang, lalu tanah tersebut dijual kepada seorang muslim. Dalam kondisi seperti ini kharajnya dibayar lebih dulu dari hasil tanah pertanian, lalu jika sisanya masih mencapai nishab, usyr juga wajib dikeluarkan. (Zallum, ibid., hal. 49).

Larangan Menyewakan Lahan Pertanian

Tanah atau lahan pertanian tidak boleh disewakan, baik tanah tersebut jenis tanah kharajiyah maupun tanah usyriyah, baik sewa itu dibayar dalam bentuk hasil pertaniannya maupun dalam bentuk lainnya, misalnya uang. (Al-Nabhani, ibid. hal. 141).

Tanah atau lahan pertanian tidak boleh disewakan, baik tanah tersebut jenis tanah kharajiyah maupun tanah usyriyah, baik sewa itu dibayar dalam bentuk hasil pertaniannya maupun dalam bentuk lainnya, misalnya uang. (Al-Nabhani, ibid. hal. 141).
Hukum sewa menyewa tanah pertanian dalam islam, sumber: zakat.or.co

Sebab Rasulullah SAW telah bersabda: “Barangsiapa mempunyai tanah (pertanian) hendaklah dia mengolahnya atau memberikannya kepada saudaranya. Jika dia tidak mau (memberikan) maka tahanlah tanahnya itu.” (HR Bukhari).

Dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh Muslim, Rasulullah SAW telah melarang mengambil upah sewa atau ajrun atau bagi hasil (hazhun) dari tanah. Semua hadis tersebut dengan jelas melarang menyewakan lahan pertanian atau ijaratul ardh.

Sebagian ulama membolehkan penyewaan lahan pertanian dengan sistem bagi hasil, yang dikenal dengan istilah muzara’ah. Mereka mendasari hal itu dengan af’al Nabi SAW yang telah bermuamalah dengan penduduk khaibar dengan sistem bagi hasil, yakni setengah bagian untuk Rasulullah dan sisanya untuk penduduk khaibar.

Dalil ini kurang kuat, sebab tanah khaibar bukanlah tanah pertanian yang kosong, melainkan tanah berpohon. Jadi muamalah yang terjadi antara Rasul dengan penduduk khaibar adalah bagi hasil merawat pohon yang sudah ada, yang disebut musaqot, bukan muzara’ah (bagi hasil atas lahan kosong yang kemudian ditanami). Tanah khaibar sebagian besarnya berupa tanah berpohin (kurma) dan hanya sebagian kecil yang kosong. (Al-Nabhani, ibid., hal. 142).

Larangan ini khusus ditujukan untuk transaksi sewa menyewa tanah pertanian untuk ditanami. Adapun menyewakan tanah bukan untuk ditanami misalnya untuk dibuat kandang ternak, gudang, kolam ikan dan sebagainya, maka hukumnya boleh atau jenis sewa lain seperti rental mobil di pekanbaru. Sebab hukum sewa menyewa tanah tidak berlaku atas perkara tersebut, Wallahu A’lam.

Leave a Comment