Hukum Shalat di Masjid yang Orang Kafir Ikut Serta dalam Pembangunannya

Soal:

Amiruna al-jalil, Assalâmu ‘alaikum wa rahmatullâh wa barakâtuhu.

Perkenankan saya memperkenalkan diri, nama saya Nadiah, salah seorang darisah di Indonesia… Saya ingin bertanya ya syaikh, apa hukum shalat di masjid yang dibangun oleh orang nashrani?

Dan semoga Allah memberikan balasan yang lebih baik kepada Anda, ya syaikh.

Nadiah Shohwah

Jawab:

Wa’alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuhu.

Sebelumnya kami telah ditanya pertanyaan ini. Dan jawaban kami kepada penanya pada waktu itu, 23/4/2018, seperti yang dijelaskan di bawah ini. Dan saya cantumkan untuk Anda pertanyaan tersebut secara penuh dan jawaban kami atasnya, di dalamnya ada kecukupan, in sya’a Allah.

(Soal: apakah boleh menerima donasi orang kafir untuk membangun masjid? Dan apakah boleh shalat di masjid yang orang kafir ikut serta dalam donasi untuk membangunnya?

Jawab:

Pertanyaan ini ada dua bagian:

Bagian pertama: Apakah boleh menerima donasi harta dari orang kafir untuk masjid?

Bagian kedua: Apakah boleh shalat di masjid yang dalam pembangunannya digunakan harta dari orang-orang kafir?

Adapun pertanyaan pertama: yaitu menerima donasi dari orang kafir untuk masjid, maka dalam masalah ini ada beberapa pendapat…. Ada sebagian dari para fukaha yang memperbolehkan hal itu, diqiyaskan kepada penerimaan hadiah dari orang kafir, dan bahwa Rasul saw menerima hadiah dari Muqauqis penguasa Mesir dan dari Romawi…

Yang menjadi pendapat saya bahwa hadiah untuk seseorang berbeda dari donasi untuk masjid. Faktanya berbeda:

1. Masjid adalah tempat untuk beribadah kepada Allah SWT. Dan dengan begitu, donasi untuk masjid bisa dinilai bahwa itu untuk Allah SWT. Dan di dalam hadits dari Abu Hurairah ra, ia berkata: Rasulullah saw bersabda:

«أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلّا طَيِّبًا…» وواه مسلم

“Wahai manusia, sesungguhnya Allah itu Maha Baik dan Dia tidak menerima kecuali yang baik” (HR Muslim).

Atas dasar itu maka tidak boleh menerima donasi dari orang kafir untuk masjid sebab harta orang kafir itu tidak lah baik (laysa thayyban).

2. Demikian juga, Rasul saw di dalam hadits-hadits beliau yang mulia menjadikan untuk orang yang membangun masjid, Allah SWT bangunkan rumah untuknya di surga:

– Imam Ahmad telah mengeluarkan di dalam Musnadnya dari Sa’id bin Jubair dari Ibnu Abbas ra dari Nabi saw, bahwa beliau bersabda:

«مَنْ بَنَى لِلَّهِ مَسْجِدًا وَلَوْ كَمَفْحَصِ قَطَاةٍ لِبَيْضِهَا، بَنَى اللَّهُ لَهُ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ»

“Siapa saja yang membangun masjid karena (untuk) Allah walaupun seperti sarang burung untuk telurnya, niscaya Allah bangun untuknya rumah di surga”.

– Imam at-Tirmidzi telah mengeluarkan di dalam Sunannya dari Utsman bin Affan ra, ia berkata: “aku mendengar Nabi saw bersabda:

«مَنْ بَنَى لِلَّهِ مَسْجِدًا بَنَى اللَّهُ لَهُ مِثْلَهُ فِي الجَنَّةِ»

“Siapa saja yang membangun sebuah masjid karena Allah, niscaya Allah bangun untuknya semisalnya di surga”.

At-Tirmidzi berkata; hadits Utsman hadits hasan shahih. Ibnu Khuzaimah juga mengeluarkan seperti itu di dalam Shahîhnya dari Utsman bin Affan. Ad-Darimi juga mengeluarkan semisalnya.

– Ibnu Hibban mengeluarkan di dalam Shahîhnya dari Abu Dzar ra, ia berkata; “Rasulullah saw bersabda:

«مَنْ بَنَى لِلَّهِ مَسْجِدًا وَلَوْ كَمَفْحَصِ قَطَاةٍ بَنَى اللَّهُ لَهُ بَيْتًا فِي الجنة» وإسناده صحيح

“Siapa saja yang membangun masjid karena Allah walaupun seperti sarang burung, niscaya Allah bangun untuknya rumah di surga” dan sanadnya shahih.

Dan karena hadits tersebut menunjukkan bahwa siapa yang membangun masjid karena Allah, niscaya Allah bangun untuknya rumah di surga, dan yang demikian itu tidak datang kecuali untuk sorang muslim, jadi yang dimaksud dengan “siapa yang membangun rumah karena Allah” adalah dia seorang muslim, sebab orang kafir seandainya dia membangun rumah maka dia tidak termasuk dari penghuni surga.

3. Demikian juga, orang-orang musyrik pada masa jahiliyah berbangga bahwa mereka adalah orang yang mengurus Masjid al-Haram, lalu Allah SWT menurunkan ayat yang mulia:

﴿أَجَعَلْتُمْ سِقَايَةَ الْحَاجِّ وَعِمَارَةَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ كَمَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَجَاهَدَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ لَا يَسْتَوُونَ عِنْدَ اللَّهِ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِين﴾

“Apakah (orang-orang) yang memberi minuman orang-orang yang mengerjakan haji dan mengurus Masjidil Haram kamu samakan dengan orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian serta berjihad di jalan Allah? Mereka tidak sama di sisi Allah; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang zalim” (TQS at-Tawbah [9]: 19).

Dinyatakan di dalam Tafsîr al-Qurthubiy:

“Firman Allah “a ja’altum siqâyata al-hajji…”, taqdir (perkiraan) tentang orang-orang arab: apakah kalian jadikan orang-orang yang memberi minum orang yang berhaji atau warga yang memberi minum orang yang berhaji, sama dengan orang yang beriman kepada Allah dan berjihad di jalan-Nya. Dan apa yang disembunyikan dalam “man âmana” boleh diperkirakan yakni “a ja’altum ‘amala saqyi al-hâjji ka ‘amali man âmana –apakah kamu jadikan perbuatan (amal) memberi minum orang yang berhaji itu sama dengan amal orang yang beriman-“.

Dinyatakan di dalam Tafsîr an-Nasafi:

﴿أَجَعَلْتُمْ سِقَايَةَ الْحَاجِّ وَعِمَارَةَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ كَمَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَجَاهَدَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ لَا يَسْتَوُونَ عِنْدَ اللَّهِ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِين﴾

“Apakah (orang-orang) yang memberi minuman orang-orang yang mengerjakan haji dan mengurus Masjidil Haram kamu samakan dengan orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian serta berjihad di jalan Allah? Mereka tidak sama di sisi Allah; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang zalim” (TQS at-Tawbah [9]: 19).

As-siqâyah dan al-‘imârah adalah mashdar dari saqâ dan ‘amara seperti ash-shiyânah wa al-wiqâyah, dan harus ada mudhâf (yang disandarkan) dan mahdzûf (yang disembunyikan), taqdirnya “a j’altum ahla siqâyah al-hâjji wa ‘imârata al-masjid al-harâm kama âmana billâh … –apakah kamu jadikan warga yang memberi minum orang berhaji dan mengurus masjid al-haram sama dengan orang yang beriman kepada Allah…-“. Dan maknanya adalah pengingkaran atas disamakannya orang-orang musyrik dengan orang-orang mukmin dan perbuatan mereka yang terpuruk dengan perbuatan orang mukmin yang ditetapkan, dan pengingkaran atas disamakannya di antara mereka dan Allah menjadikan penyamaan mereka merupakan sebuah kezaliman setelah kezaliman mereka berupa kekufuran sebab mereka menempatkan pujian dan kebanggaan bukan pada tempat yang semestinya…”.

Semua ini menjelaskan bahwa orang yang diterima untuk mengurus (memakmurkan) Masjid al-Haram dan “masjid manapun” adalah orang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, yakni seorang muslim. Dan mafhumnya memberi pemahaman tidak bolehnya donasi orang kafir untuk membangun masjid.

Atas dasar itu, yang saya rajihkan adalah tidak diterimanya donasi orang-orang kafir untuk pemakmuran masjid. Saya katakan, yang saya rajihkan, sebab sebagian fukaha memperbolehkan donasi dari orang kafir seperti yang saya sebutkan di awal jawaban.

Ini yang saya rajihkan, wallâh a’lam awa ahkam” selesai.

Ini dari bagian pertama …

Adapun bagian kedua, yaitu bolehnya shalat di dalamnya, maka shalat tersebut boleh. Imam al-Bukhari telah mengeluarkan dari Jabir bin Abdullah ra, ia berkata: Rasulullah saw bersabda:

«أُعْطِيتُ خَمْسًا لَمْ يُعْطَهُنَّ أَحَدٌ مِنَ الأَنْبِيَاءِ قَبْلِي: نُصِرْتُ بِالرُّعْبِ مَسِيرَةَ شَهْرٍ، وَجُعِلَتْ لِي الأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُورًا، وَأَيُّمَا رَجُلٍ مِنْ أُمَّتِي أَدْرَكَتْهُ الصَّلاَةُ فَلْيُصَلِّ، وَأُحِلَّتْ لِي الغَنَائِمُ، وَكَانَ النَّبِيُّ يُبْعَثُ إِلَى قَوْمِهِ خَاصَّةً، وَبُعِثْتُ إِلَى النَّاسِ كَافَّةً، وَأُعْطِيتُ الشَّفَاعَةَ»

“Aku diberi lima perkara yang tidak diberikan kepada seorang nabi pun sebelumku: aku ditolong dengan ketakutan sejauh perjalanan sebulan, dan bumi dijadikan untukku sebagai masjid dan suci dan laki-laki siapapun dari umatku yang bertemu kewajiban shalat maka hendaklah dia menunaikan shalat, dan ghanimah dihalalkan untukku, dan dahulu nabi diutus kepada kaumnya secara khusus dan aku diutus kepada seluruh manusia, dan aku diberi (hak memberi) safa’at”.

Imam Muslim mengeluarkan dengan redaksi: dari Jabir bin Abdullah al-Anshari, ia berkata: Rasulullah saw bersabda:

«أُعْطِيتُ خَمْسًا لَمْ يُعْطَهُنَّ أَحَدٌ قَبْلِي، كَانَ كُلُّ نَبِيٍّ يُبْعَثُ إِلَى قَوْمِهِ خَاصَّةً، وَبُعِثْتُ إِلَى كُلِّ أَحْمَرَ وَأَسْوَدَ، وَأُحِلَّتْ لِيَ الْغَنَائِمُ، وَلَمْ تُحَلَّ لِأَحَدٍ قَبْلِي، وَجُعِلَتْ لِيَ الْأَرْضُ طَيِّبَةً طَهُورًا وَمَسْجِدًا، فَأَيُّمَا رَجُلٍ أَدْرَكَتْهُ الصَّلَاةُ صَلَّى حَيْثُ كَانَ، وَنُصِرْتُ بِالرُّعْبِ بَيْنَ يَدَيْ مَسِيرَةِ شَهْرٍ، وَأُعْطِيتُ الشَّفَاعَةَ»

“Aku diberi lima perkara yang tidak diberikan kepada seorang nabi pun sebelumku: dahulu setiap nabi diutus kepada kaumnya secara khusus dan aku diutus kepada seluruh manusia berkulit putih dan hitam, dan ghanimah dihalalkan untukku sedangkan itu tidak dihalalkan untuk seorang pun sebelumku, dan bumi dijadikan untukku sebagai baik, suci dan menjadi masjid (tempat bersujud) maka laki-laki siapapun yang bertemu kewajiban shalat maka hendaklah dia menunaikan shalat di mana saja, dan aku ditolong dengan ketakutan di depanku sejauh perjalanan sebulan, dan aku diberi (hak memberi) syafa’at”.

Begitulah, tempat mana saja di muka bumi boleh untuk shalat di situ selama tempat itu suci… Atas dasar itu maka shalat adalah sah di masjid manapun, hingga seandainya masjid itu di dalamnya dibelanjakan harta dari orang-orang kafir. Ketidakabsahan menerima harta dari orang kafir untuk pembangunan masjid tidak berarti tidak diterimanya shalat di dalamnya. Hal itu karena apa yang telah dijelaskan di atas.

Ini yang saya rajihkan dalam masalah ini, wallâh a’lam wa ahkam.

Saudaramu Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah

27 Muharram 1440 H

7 Oktober 2018 M