Hukuman Mati Bagi Orang Yang Murtad

Kasus orang pindah agama dari agama Islam ke agama lain atau kita kenal dengan istilah murtad bisa jadi pernah kita temui. Alasan orang keluar dari Islam bisa bermacam-macam. Dalam khasanah fikih Islam diketahui bahwa hukuman bagi orang murtad adalah hukuman mati. Namun hal tersebut tentu tidak sesuai dengan konsep hak asasi manusia atau HAM. Seperti apa penjelasan seputar hukuman mati bagi orang murtad. Simak penjelasan berikut ini.


Soal:

Ustadz yang terhormat, saya mau nanya tentang hukum seputar orang murtad. Bagaimana pandangan Islam terhadap orang-orang murtad, kapan seorang bisa dianggap murtad, dan gimana dengan hartanya?

Jawab:

1. Definisi Riddah Dan Hukumnya

Riddah dan irtidad menurut al-Raghib, adalah, “al-ruju’ fi al-thariq al-ladziy jaa minhu” (kembali ke jalan dimana ia datang). Akan tetapi lafadz riddah khusus untuk kekafiran, sedangkan kata irtidad mencakup kekafiran maupun yang lain (Imam asy-Syaukani, Nail al-Authar, Kitab al-Riddah). Kedua lafadz itu disebutkan dalam al-Qur’an. Allah SWT berfirman:

Sesungguhnya orang-orang yang kembali ke belakang (kepada kekafiran) sesudah petunjuk itu jelas bagi mereka, syaithan telah menjadikan mereka mudah (berbuat dosa) dan memanjangkan angan-angan mereka.” (Qs. Muhammad [47]: 25).

Hai orang-orang yang beriman barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka, dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mu’min, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan tidak takut kepada celaan orang-orang yang suka mencela.” (Qs. al-Mâ’idah [5]: 54).

Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran) jika mereka sanggup.” (Qs. al-Baqarah [2]: 217).

Musa berkata, ‘Itulah tempat yang kami cari.’ Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semua semula.” (Qs. al-Kahfi [18]: 64).

Hukum bagi orang yang murtad adalah dibunuh, sebagaimana sabda Rasulullah Saw:

Barangsiapa mengganti agamanya (murtad) maka bunuhlah dia.” [HR. Jama’ah, kecuali Imam Muslim, sedangkan menurut riwayat Imam Ibnu Majah tidak seperti lafadz di atas].

Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, bahwa Rasulullah Saw bersabda:

Tidaklah halal darah seorang muslim, kecuali ia menjalankan salah satu dari tiga hal ini, yaitu (1) kafir setelah beriman; (2) berbuat zina setelah menjadi orang muhshan, (3) membunuh orang yang terjada darahnya.

Dalam riwayat Imam Ahmad disebutkan, “Allah dan RasulNya telah menetapkan bahwa orang yang murtad dari agamanya maka ia harus dibunuh.

Abu Dawud meriwayatkan, “Abu Musa datang bersama seorang laki-laki yang telah murtad. Kemudian Abu Musa menasehatinya selama 20 malam. Datanglah Mu’adz bin Jabal, kemudian menasehatinya, lelaki itu menolak. Kemudian dipenggallah leher lelaki itu.

Dalam sebuah riwayat dinyatakan, bahwa ‘Ali bin Abi Thalib pernah membakar orang-orang yang zindiq. Dari ‘Ikrimah, berkata, “Amirul Mu’minin ‘Ali bin Abi Thalib mendapatkan orang-orang zindiq itu, lalu beliau ra membakar orang itu. Hal ini sampai Ibnu ‘Abbas, lalu Ibnu ‘Abbas berkata, ‘Seandainya aku, maka aku tidak akan membakar mereka, sebab, Rasulullah Saw telah melarang. Rasulullah Saw bersabda, ‘Janganlah kalian menghukum (seseorang) dengan hukuman Allah (membakar)’.

Hadits ini menunjukkan dengan jelas bahwa hukuman bagi orang-orang yang murtad adalah dibunuh, bukan dibakar. Sebab, ada larangan dari Rasulullah Saw untuk mengadzab seseorang dengan ‘adzabnya Allah, yakni dibakar. Selain itu, keumuman hadits, “Barangsiapa murtad maka bunuhlah ia”, menunjukkan bahwa hukum murtad adalah dibunuh. Sedangkan apa yang diperbuat oleh ‘Ali r.a. tidak bisa digunakan argumentasi, sebab bisa jadi ia belum mengetahui ada riwayat yang melarang mengadzab seseorang dengan ‘adzabnya Allah (membakar), sebagaimana yang dikemukakan oleh Ibnu ‘Abbas.

Ilustrasi pembunuhan orang murtad, sumber unsplash @9lart
Ilustrasi pembunuhan orang murtad, sumber unsplash @9lart

Selain itu ada riwayat yang dikeluarkan Abu Dawud, dari Ibnu Mas’ud dengan lafadz, “Sesungguhnya tidak boleh mengadzab dengan api, kecuali Rabb-nya api (Allah).Imam Bukhari juga meriwayatkan dari Abu Hurairah, “Sesungguhnya tidak mengadzab dengan api, kecuali Allah.” [Imam Bukhari dalam bab Jihad].

Sebagian ‘ulama berselisih pendapat mengenai hukum bunuh atas wanita yang murtad. Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Fâth al-Bârîy berkata bahwa para ‘ulama berargumentasi dengan hadits, “Barangsiapa murtad maka bunuhlah ia.” [HR. Jama’ah]. Huruf “man” di sini berlaku umum untuk laki-laki maupun wanita (murtadah). Kecuali Abu Hanifah, ia tetap berpegang teguh kepada hadits tentang larangan membunuh murtadah. ‘Ulama Hanafiah juga berargumen bahwa “man syarthiyyah” tidak mencakup bagi mu’annats. Namun, jumhur ‘ulama membawa ma’na hadits-hadits yang menunjukkan larangan membunuh murtadah, kepada larangan membunuh wanita kafir di peperangan. Adapun sebab mengapa Rasulullah Saw melarang membunuh wanita, dikarenakan beliau pernah melihat seorang wanita dibunuh, hingga kemudian beliau melarang membunuh wanita. Beliau Saw bersabda, “Bukanlah semestinya perempuan ini diperangi!” Bukan bermakna tidak boleh membunuh wanita yang murtad. Dengan demikian, pendapat Abu Hanifah adalah pendapat lemah dan harus ditinggalkan. Selain itu al-Hafidz Ibnu Hajar, menjelaskan bahwa ada hadits dengan sanad hasan, yang menunjukkan bahwa seorang wanita yang murtad juga harus dibunuh. Bahwa Rasulullah Saw ketika mengutus Mu’adz ke Yaman, beliau berpesan, “Setiap lelaki yang bertindak murtad, maka panggillah ia! Bila ia menolak untuk kembali ke dalam Islam, maka penggallah lehernya! Begitu pula setiap perempuan yang bertindak murtad, maka panggillah ia! Bila ia menolak untuk kembali lagi ke dalam Islam, maka penggallah lehernya!” Juga ada hadits yang diriwayatkan oleh ad-Daruquthni dan al-Baihaqi dari Jabir, “Bahwa Ummu Marwan murtad, kemudian Rasulullah memerintahkan para shahabat untuk menasehatinya agar masuk Islam kembali, jika ia bertaubat (maka diampuni), jika tidak maka ia dibunuh.

Pada masa kekhalifahannya Abu Bakar al-Shiddiq pernah membunuh seorang wanita yang murtad, dan para shahabat mendiamkannya. Selain itu, jumhur ‘ulama juga berpendapat dengan suatu kenyataan bahwa wanita juga mendapatkan hak sama dalam masalah hudud, sebagaimana laki-laki; seperti zina, minum khamar, mencuri, dan lain-lain (lihat Imam asy-Syaukani, Nail al-Authar, Kitab al-Riddah).

Dari hadits di atas juga dapat disimpulkan bahwa dalam kasus riddah (murtad) ada pengampunan jika ia mau kembali kepada Islam. Taubatnya diterima selama ia tidak mengulang-ulang kemurtadannya. Namun jika ia murtad kembali setelah bertaubat, maka jika ia bertaubat lagi maka taubatnya tidak diterima. Ini didasarkan pada firman Allah SWT:

Sesungguhnya orang-orang yang beriman kemudian kafir, kemudian beriman, kemudian kafir, kemudian semakin bertambah kekafirannya, maka Allah tidak akan mengampuni mereka dan memberi petunjuk jalan kepada mereka.” (Qs. an-Nisâ’ [4]: 137).

Sebagian ‘ulama Syafi’iyyah berpendapat bahwa bila seorang kafir berpindah ke agama kafir lainnya, maka ia harus dibunuh. Mereka berargumen dengan hadits riwayat Jama’ah, “Barangsiapa murtad maka bunuhlah ia.Imam asy-Syaukani, menjawab pendapat ini dengan menyatakan, bahwa hadits ini secara dzahir tidak berlaku bagi orang kafir masuk Islam (pindah dari kekafiran menuju Islam). Maka yang dimaksud “agama” di dalam hadits tersebut adalah agama Islam. Sebab, agama yang hakiki (benar), adalah agama Islam. Sebagaimana firman Allah:

Sesungguhnya agama yang diridloi di sisi Allah adalah agama Islam.” (Qs. Ali-Imran [3]: 19).

Selain itu, bahwa agama kufur pada hakekatnya adalah sama. Atas dasar itu, jika seseorang berpindah dari agama kufur menuju agama kufur lainnya, maka pada hakekatnya ia tetap dalam kekafiran. Allah SWT berfirman:

Barangsiapa mencari agama selain Islam, sebagai agama, maka ia tidak akan pernah diterima.” (Qs. Ali-Imran [3]: 85).

Selain itu ada hadits-hadits yang diriwayatkan dari berbagai jalan menunjukkan pengertian seperti di atas. Imam ath-Thabarani mengeluarkan hadits dari Ibnu ‘Abbas, “Barangsiapa murtad dari agamanya, yakni agama Islam, maka penggallah lehernya.

2. Kapan Seseorang Dianggap Kafir/Murtad

Menurut Syaikh Dr. ‘Abdurrahman al-Maliki, seorang muslim bisa jatuh kafir dengan empat indikasi berikut ini, (1) dengan keyakinan (i’tiqad), (2) dengan keraguan (syak), (3) dengan perkataan (al-qaul), (4) perbuatan.

Pertama, dengan keyakinan. Ini bisa dilihat dari dua sisi; (a) menyakini dengan pasti sesuatu yang berlawanan dengan apa yang diperintah, atau yang dilarang. Semisal menyakini, bahwa Allah memiliki sekutu. Menyakini bahwa al-Qur’an bukanlah Kalamullah. (b) mengingkari sesuatu yang sudah ma’lum dalam masalah agama. Semisal mengingkari jihad, mengingkari keharaman khamr, mengingkari hukum potong tangan, dan lain-lain.

Kedua, keraguan dalam ber’aqidah, dan semua hal yang dalilnya qath’i. Misalnya, ragu bahwa Allah itu satu; ragu bahwa Muhammad Saw adalah Rasulullah; atau ragu tentang sanksi jilid bagi pezina ghairu muhshon.

Ketiga, dengan perkataan yang jelas, tidak perlu ditafsirkan atau dita’wilkan lagi. Semisal, seseorang yang mengatakan bahwa ‘Isa adalah anak Allah, Muhammad bukan nabi, dan lain-lain. Sedangkan perkataan yang masih belum jelas, atau masih perlu dita’wilkan maka tidak memurtadkan pengucapnya.

Keempat, dengan perbuatan yang jelas tanpa perlu ta’wil lagi. Semisal, menyembah berhala, melakukan misa di gereja dengan tata cara misa ala gereja, sembahyang di Pura atau Wihara dengan ritual Hindu, dan lain-lain. Sedangkan perbuatan yang belum jelas, tidak mengkafirkan pelakunya. Seperti masuk ke gereja, membaca Injil, dan lain-lain.

Sedangkan, menurut Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah dalam al-Ikhtiyarat, “Orang yang murtad itu ada yang syirik kepada Allah dan ada juga yang karena membenci Rasulullah Saw; ada yang membiarkan ingkarnya orang yang ingkar dengan hati; ada yang menuduh salah seorang sahabat, tabi’in atau tabi’ut tabi’in yang berperang bersama orang-orang kafir, dan ada yang membolehkan demikian; ada yang ingkar terhadap sesuatu yang sudah disepakati (ulama) dengan pasti dan ada yang membuat wasilah antara dia dengan Allah yang dijadikan tempat menyerahkan dirinya, dijadikan tempat berdoa dan dimintai. Dan barangsiapa yang ragu-ragu terhadap salah satu sifat Allah dan sebagainya padahal dia sudah mengetahuinya, maka dia itu bisa disebut murtad; tetapi kalau dia belum tahu, maka tidak bisa disebut murtad.” (lihat Imam asy-Syaukani, Nail al-Authar, Kitab al-Riddah).

Langkah Praktis Mengubah Mata Uang Konvensional ke Dinar dan Dirham
Ilustrasi artikel

3. Harta Orang Murtad

Seorang yang murtad sebelum ia bertaubat, maka ia adalah pemilik hartanya, dan apa yang ia usahakan. Namun jika ia diminta kembali kepada Islam menolak, maka ia dijatuhi sanksi bunuh; atau jika ia meninggal setelah kemurtadannya, maka hartanya digunakan untuk melunasi utang-utangnya, serta mengurusi jiwanya, memberi nafkah kepada isteri, dan orang-orang yang ada di bawah tanggungjawabnya. Jika hartanya tidak tersisa setelah itu, maka masalahnya dianggap telah berakhir. Namun jika ada sisa, maka hartanya diserahkan kepada baitul maal. Harta mereka disamakan dengan harta fai’. Sebab, orang yang murtad harus diajak untuk kembali kepada Islam, namun jika ia menolak, maka ia wajib diperangi (dibunuh). Dalam kondisi semacam ini hartanya seperti harta fai’.

Dalilnya adalah sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Abu Bakar terhadap orang-orang yang murtad. Abu Bakar memerangi orang-orang yang murtad, dan menghalalkan darah dan merampas harta mereka, disebabkan karena kemurtadan mereka. Atas dasar itu, harta mereka bagaikan harta ghanimah. Seluruh shahabat menyetujui tindakan ini. Artinya, apa yang dilakukan oleh Abu Bakar ra telah menjadi ijma’ di kalangan para shahabat.

4. Hukuman Mati Bertentangan Dengan Al-Qur’an?

Di zaman sekarang banyak orang Islam yang tidak menerima bahwa hukuman bagi orang murtad –yang tidak mau bertobat– adalah hukuman mati. Salah satu alasan adalah bahwa hukuman tersebut bertentangan dengan prinsip tidak ada paksaan dalam hal agama (al-Dien), yang terdapat dalam al-Qur’an surah al-Baqarah [2] ayat 256: “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat.

Kesalahan atas memahami fakta murtad dan ayat di atas berakibat kefahaman yang keliru, dan kebertentanangan itu lahir atas kesalahan mereka untuk memahami ayat di atas. Jika kita mengkaji ayat di atas dan hadits-hadits yang digunakan, kita akan berkesimpulan bahwa tidak ada bertentangan sama sekali. Oleh karena itu ayat di atas tidak bisa digunakan sama sekali untuk menolak hukuman mati bagi orang murtad. Karena ayat di atas hanya terkait dengan pemaksaan terhadap orang kafir untuk masuk Islam. Jadi meskipun wajib bagi orang kafir untuk masuk Islam (lihat Qs. Ali-Imran [3]: 19, 85), mereka harus masuk Islam atas kesadaraan sendiri, dan bukan karena ada paksaan dari kita (misalnya dengan ancaman terhadap jiwa mereka jika tidak mau masuk Islam). Sedangkan hadits-hadits yang digunakan terkait dengan hukuman bagi orang Islam –baik dia sudah muslim sejak lahir, atau seorang muallaf– yang keluar dari Islam. Wallahu a’lam bi ash-showab.

[Ramadhan]


Terimakasih sudah berkenan membaca hingga akhir artikel yang berjudul Hukuman Mati Bagi Orang Yang Murtad. Semoga menjadi ilmu yang bermanfaat. Artikel kami telah menambahkan gambar dan link pada artikel agar lebih menarik. Jika dirasa akan membantu saudara kita yang lain, silahkan share melalui sosial media artikel ini. Jazakumullah khair

Leave a Comment