Ifadhah dalam Haji

Pertanyaan :

Saya memikirkan firman Allah di surat al-Baqarah:

فَإِذَا أَفَضْتُمْ مِنْ عَرَفَاتٍ فَاذْكُرُوا اللَّهَ عِنْدَ الْمَشْعَرِ الْحَرَامِ وَاذْكُرُوهُ كَمَا هَدَاكُمْ وَإِنْ كُنْتُمْ مِنْ قَبْلِهِ لَمِنَ الضَّالِّينَ * ثُمَّ أَفِيضُوا مِنْ حَيْثُ أَفَاضَ النَّاسُ وَاسْتَغْفِرُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Maka apabila kamu telah bertolak dari ‘Arafat, berdzikirlah kepada Allah di Masy’arilharam. Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu; dan sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat. (198) Kemudian bertolaklah kamu dari tempat bertolaknya orang-orang banyak (‘Arafah) dan mohonlah ampun kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (TQS al-Baqarah [2]: 198-199)

Ayat pertama (artinya) “Maka apabila kamu telah bertolak dari ‘Arafat, berdzikirlah kepada Allah di Masy’arilharam.” Memberi pengertian bertolak (ifadhah) dari Arafat ke Masy’ar al-Haram, yakni ke Muzdalifah. Sedangkan ayat kedua setelahnya, (artinya) “kemudian bertolaklah …” memberi pengertian bahwa di situ ifadhah (bertolak) lain dari Muzdalifah ke Mina. Apakah ini berarti ada dua ifadhah: pertama, orang-orang yang berhaji wukuf di Arafah dan bertolak ke Muzdalifah; dan kedua, orang-orang yang berhaji berdiam di Mudalifah dan bertolak ke Mina, mengingat apa yang kami ketahui adalah bahwa wukuf di Arafah dan dari situ dilakukan ifadhah …?

Saya mohon penjelasan masalah ini. Semoga Allah memberi Anda balasan yang baik.

Jawab:

Sesungguhnya ya Akhi, yang ada hanya satu ifadhah, yaitu dari Arafah ke Muzdalifah. Inilah yang disebut ifadhah. Untuk menjelakan hal itu saya jelaskan makna kedua ayat tersebut:

“Maka apabila kamu telah bertolak dari ‘Arafat”, yakni jika kalian mendorong diri kalian dengan banyak dari Arafat, diambil dari fâdhu al-mâ` jika mengalir deras, jadi itu diambil dari ifâdhah al-mâ` yaitu disiramkan/dialirkan dengan banyak.

Dan ‘Arafat disini bukanlah bentuk jamak untuk ‘Arafah, akan tetapi itu adalah makna tempat yang sudah dikenal dalam haji, yaitu isim dalam bentuk lafazh jamak, sehingga tidak dijamakkan dan tidak ada tunggalnya. Artinya di situ tidak ada bagian-bagian dalam wukuf di mana tiap-tiapnya disebut ‘Arafah, kemudian dibentuk jamak menjadi ‘Arafât, akan tetapi ‘Arafah dan ‘Arafât maknanya satu yakni nama tempat yang sudah dikenal. Huruf ta’ dalam ‘Arafât bukan ta’ at-ta’nits dan karena itu disharaf yakni tidak menghalangi sharaf.

(Artinya) “dan sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat.” Yakni jika kalian sebelum kedatangan Rasul saw dengan membawa petunjuk, dan penjelasan hukum-hukum syara’ untuk haji dan lainnya, niscaya kalian termasuk orang-orang sesat.

Masy’aril Haram adalah Muzdallifah seluruhnya seperti yang dikatakan Ibn Umar ra. Muzdalifah juga disebut dengan bentuk jamak.

“Kemudian bertolaklah kamu dari tempat bertolaknya orang-orang banyak (‘Arafah) dan mohonlah ampun kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”, yakni jadikanlah hai penduduk Makkah ifadhah kalian semisal manusia lainnya, dari ‘Arafah ke Muzdalifah dan bukan dari Muzdalifah. Artinya wukuf kalian adalah di Arafah dan bukan di Muzdalifah. Dalam hal ini ada pembatalan apa yang menjadi kebiasaan Quraisy pada masa jahiliyah di mana mereka wukuf di Muzdalifah dan tidak wukuf di ‘Arafah seperti manusia lainnya. Dahulu pada masa jahiliyah, Quraisy tidak berwukuf di Arafah di mana merupakan al-hall, akan tetapi mereka wukuf di Muzdalifah sebab termasuk al-haram. Mereka mengatakan, kami adalah penduduk Baitullah al-haram maka kami tidak keluar dari al-haram. Mereka menyebutnya “al-hums” dan mereka wukuf secara khusus di Muzdalifah berbeda dengan manusia seluruhnya. Maka di dalam ayat yang mulia ini Allah SWT memerintahkan Quraisy untuk bertolah (ifadhah) sebagaimana orang-orang bertolak tanpa perbedaan, dan agar Quraisy memohon ampunan kepada Allah disebabkan kesalahan mereka sebelumnya berhaji tidak berdasarkan petunjuk. Dan Allah SWT maha pengampun untuk hamba-hamba-Nya yang mukhlis lagi Maha Penyayang kepada mereka.

Imam al-Bukhari dan Muslim telah mengeluarkan dan lafazh al-Bukhari dari Hisyam bin ‘Urwah dari bapaknya dari Aisyah ra.:

«كَانَتْ قُرَيْشٌ وَمَنْ دَانَ دِينَهَا يَقِفُونَ بِالْمُزْدَلِفَةِ، وَكَانُوا يُسَمَّوْنَ الحُمْسَ، وَكَانَ سَائِرُ العَرَبِ يَقِفُونَ بِعَرَفَاتٍ، فَلَمَّا جَاءَ الإِسْلاَمُ أَمَرَ اللَّهُ نَبِيَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَأْتِيَ عَرَفَاتٍ، ثُمَّ يَقِفَ بِهَا، ثُمَّ يُفِيضَ مِنْهَا» فَذَلِكَ قَوْلُهُ تَعَالَى: ((ثُمَّ أَفِيضُوا مِنْ حَيْثُ أَفَاضَ النَّاسُ))»

Dahulu Quraisy dan yang beragama mengikuti Quraisy, mereka wukuf di Muzdalifah, mereka menyebutnya al-hums, dan seluruh orang arab wukuf di Arafah. Ketika datang Islam, Allah SWT memerintahkan Nabi-Nya saw agar datang ke Arafah dan wukuf disitu kemudian bertolak (ifadhah) dari situ. Yang demikian itu firman Allah SWT: (artinya) “kemudian bertolaklah kami dari tempat orang-orang bertolak”.

Atas dasar makna ini, maka kata tsumma merupakan kata sambung (‘athaf) terhadap akhir ayat sebelumnya:

وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ

Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal(TQS al-Baqarah [2]: 197)

Yakni bahwa di dalam ayat tersebut ada “dikedepankan dan diakhirkan dari sisi makna (taqdîman wa ta`khîran min haitsu al-ma’nâ). Seolah-olah urutan maknanya sebagai berikut: Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal. Kemudian bertolaklah dari tempat dimana orang-orang banyak bertolak dari ‘Arafah dan bukan dari Muzdalifah seperti yang dahulu dilakukan Quraisy pada masa jahiliyah. Dan jika kalian bertolak dari ‘Arafah dan kalian laksanakan perintah Allah maka pergilah kalian ke Muzdalifah dan ingatlah kepada Allah di Masy’aril Haram –yakni Muzdalifah- dan pujilah Allah atas petunjuk-Nya kepada kalian setelah sebelumnya kalian sesat tidak mendapat petunjuk”.

Tampaknya, yang mendorong munculnya pertanyaan adalah si penanya membaca bahwa ‘tsumma” merupakan huruf ‘athaf yang memberi pengertian urutan dalam aktivitas-aktivitas disertai kelonggaran dengan makna terjadinya apa yang sesudah kata tsumma terjadi setelah apa yang sebelum kata tsumma secara longgar yakni setelah tenggat tertentu. Dan menurut hal itu maka pemahaman kedua ayat itu:

Dipahami dari ayat sebelumnya “Maka apabila kamu telah bertolak dari ‘Arafat, berdzikirlah kepada Allah di Masy’arilharam” yakni di Muzdalifah jadi orang-orang yang berhaji telah sampai ke Muzdalifah.

Dan dari ayat kedua dipahami “kemudian bertolaklah dari tempat seperti orang-orang banyak bertolak”, disertai makna tsumma yang ada di dalam benaknya, bahwa maknanya: kalian telah sampai ke Muzdalifah dan setelah kalian mengingat Allah dan shalat fajar bertolaklah ke Mina. Artinya maknanya seperti yang dia pandang “kemudian bertolaklah dari tempat orang-orang bertolak” adalah: kemudian bertolaklah dari Muzdalifah ke Mina. Tampaknya inilah sebab munculnya pertanyaan pada dirinya.

Masalahnya tidak demikian. Penjelasannya dari dua sisi:

Pertama, bahwa apa yang telah diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim seputar turunnya ayat tersebut membuat makna “kemudian bertolaklah dari tempat orang-orang bertolak” yakni bertolaklah dari ‘Arafah dan bukan dari Muzdalifah. Allah telah memfardhukan kepada orang-orang yang berhaji untuk bertolak dari ‘Arafah dan demikian pula Quraisy.

Kedua, bahwa kata “tsumma” berarti urutan disertai kelonggaran dan bahwa apa disebutkan sesudah kata tsumma dari sisi kejadiannya terjadi setelah apa yang disebutkan sebelum kata tsumma. Akan tetapi ini tidak semua makna tsumma. Namun kata tersebut (tsumma) juga dipakai pada makna selain ini. Di antara penggunaannya adalah dari sisi kejadiannya apa yang disebutkan sesudah tsumma justru terjadi lebih dahulu sebelum apa yang disebutkan sebelum kata tsumma. Akan tetapi ini perlu qarinah dan dilakukan untuk menonjolkan tujuan yang dituntut. Orang arab mengatakan: “apa yang kamu lakukan hari ini membuatku takjub kemudian apa yang engkau perbuat kemarin lebih menakjubkan”. Disini “apa yang engkau perbuat kemarin” diathafkan ke “apa yang engkau perbuat hari ini”, artinya pengathafan yang belakangan kepada yang sebelumnya tanpa sesuai dengan urutan di antara keduanya. Hanya saja makna yang masyhur dari kata tsumma adalah apa yang disebutkan sesudah kata tsumma terjadi belakangan sesudah apa yang disebutkan sebelum kata tsumma dengan ada jangka waktu di antara keduanya. Karena itu, kami katakan bahwa penggunaan kata tsummaseperti makna lain itu memerlukan qarinah. Dan maksud dari penggunaan seperti itu adalah menonjolkan perkara yang dituntut sebab perbedaan alur pada penggunaan oleh orang arab yang fasih terjadi untuk suatu tujuan dan bukannya tanpa tujuan.

Dengan mengkaji ucapan orang arab sebelumnya itu kita temukan bahwa qarinah yang menunjukkan bahwa apa yang disebutkan sesudah tsumma terjadi lebih dahulu sebelum apa yang disebutkan sebelum tsumma adalah penggunaan yang jelas kata “kemarin” setelah tsumma dan penggunaan “hari ini” sebelum tsumma.

Adapun perkara yang ingin ditonjolkan pada ucapan mereka ini adalah mengecilkan nilai apa yang diperbuat hari ini. Jadi zahir ucapan itu adalah pujian terhadap apa yang dilakukan kemarin dan hakikatnya adalah celaan terhadap kemampuannya … dan bukannya mengalami kemajuan aktivitas justru menurun dari sebelumnya. Jadi aktivitas hari ini lebih rendah dari aktivitas kemarin.

Dan dalam ayat yang mulia itu qarinahnya adalah sebab turunnya seperti yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim.

Sedangkan tujuan yang diinginkan untuk ditonjolkan adalah membatalkan apa yang menjadi kebiasaan Quraisy yaitu wukuf di Muzdalifah dan tidak pergi untuk wukuf di Arafah. Artinya bahwa Allah SWT, setelah di dalam ayat sebelumnya menyebutkan bertolaknya mereka dari Arafah ke Muzdalifah, kembali lagi menyebutkan bahwa bertolaknya dari Arafah ke Muzdalifah itu adalah wajib bagi Quraisy seperti halnya orang-orang lainnya.

Saya harap perkara ini telah menjadi jelas, dan bahwa ifadhah adalah dari Arafah dan bahwa ayat yang belakangan “tsumma afîdhû … -kemudian bertolaklah …- adalah dalam makna sebelum “faidzâ afadhtum min ‘arafât … -jika kalian telah bertolak dari Arafah …-. Dan pengedepanan dan pengakhiran dalam bahasa arab dilakukan untuk suatu tujuan, dan tujuan di sini adalah menghilangkan kebiasaan jahiliyah berupa deskriminasi Quraisy dari manusia lainnya.

Sumber : Soal jawab dengan Amir HT

16 Dzulqa’dah 1434 H

22 September 2013 M

Sumber: http://www.hizb-ut-tahrir.info/info/index.php/contents/entry_29348