Memakan Ikan yang Diberi Makan dengan Najis, Bolehkah?

Tanya : 

Ustadz, bolehkah kita makan ikan yang diberi makan dengan barang najis, misalnya kotoran hewan, kotoran manusia, bangkai, dsb?

Ihsan, Bogor

Jawab :

Para fuqaha mengatakan hewan yang makanannya barang-barang najis, seperti kotoran hewan atau manusia, disebut jallalahYang dikategorikan jallalah ini tak terbatas hewan berkaki empat (dabbah), seperti sapi, tapi hewan secara umum. Imam Shan’ani, misalnya, memasukkan ayam (dajjaaj) dalam kategori jallalah. Imam Syihabuddin Al Syafi’i (w. 808 H) memasukkan ikan (samakah) dalam kategori jallalah. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 15/260; Rawwas Qal’ahjie, Mu’jam Lughah Al Fuqaha`, hlm. 81, Imam Shan’ani, Subulus Salam,4/1831; Syihabuddin Al Syafi’i, At Tibyan Limaa Yuharram wa Yuhallal min Al Hayawan, hlm. 51, Imam Syaukani, Nailul Authar, hlm. 1612).

Terdapat hadits Nabi SAW yang melarang memakan jallalah. Dari Ibnu Umar ra bahwa Nabi SAW telah melarang memakan jallalah dan meminum air susunya. (HR Abu Dawud, no 3786; Tirmidzi no 1825, Ibnu Majah no 3189; Al Baihaqi 9/332. Menurut Imam Tirmidzi, ini hadits hasan. Lihat Imam Shan’ani, Subulus Salam, 4/1830; Imam Syaukani, Nailul Authar, hlm. 1612).

Berdasarkan hadits itu, jumhur fuqaha berpendapat jika daging jallalah mengalami perubahan, seperti berbau busuk, hukumnya makruh untuk dimakan. Menurut sebagian fuqaha, yaitu satu pendapat (qaul) ulama Syafi’iyah dan satu riwayat dari Imam Ahmad, hukumnya haram. Adapun jika dagingnya tak mengalami perubahan, ulama Syafi’iyyah menghukuminya boleh, tidak makruh atau haram. Menurut ulama Hanabilah hukumnya makruh. Sedang menurut ulama Malikiyyah, hukumnya boleh, baik dagingnya mengalami perubahan atau tidak. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 15/260; Syihabuddin Al Syafi’i, ibid., hlm. 51).

Para fuqaha sepakat keharaman/kemakruhan itu dapat dihilangkan dengan melakukan penahanan (habs) terhadap jallalah sebelum disembelih, yaitu diberi makanan yang tak najis dalam waktu tertentu. Perbedaan pendapat terjadi mengenai jangka waktu penahanan (muddah al habs). Ulama Syafi’iyyah misalnya berpendapat, unta ditahan 40 hari, sapi 30 hari, kambing 7 hari, dan ayam 3 hari. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 15/261).

Menurut kami, yang rajih (kuat) sbb; Pertama, makruh hukumnya memakan daging jallalah, baik terjadi perubahan atau tidak. Kedua, tidak terdapat jangka waktu tertentu untuk penahanan jallalah, melainkan bergantung fakta yang ghalib (umumnya) masing-masing hewan.

Makruhnya memakan daging jallalah, karena larangan (nahi) dalam hadits-hadits untuk memakan jallalahtidak disertai qarinah jazim (indikasi tegas) yang menunjukkan keharaman. Misalnya adanya ancaman azab Allah di dunia atau di akhirat, mendapat laknat atau murka dari Allah, dsb. Menurut Syaikh ‘Atha Abu Rasytah, jika terdapat suatu larangan (nahi) yang menunjukkan adanya tarjih (pengutamaan), artinya lebih baik tak dilakukan, tapi tak disertai qarinah-qarinah yang menunjukkan jazim, maka itu larangan makruh, bukan haram. (‘Atha` Abu Rasytah, Taisir Al Wushul Ila Al Ushul, hlm. 25-26).

Adapun kemakruhan itu tak mempertimbangkan alasan perubahan, karena hadits-hadits yang ada tidak menunjukkan adanya illat (alasan pelarangan). Lagipula topiknya adalah hukum makanan yang sesungguhnya tak mengandung illat. Kaidah fiqih menyebutkan : inna al ‘ibadat wa al math’umat wa al malbusat wa al masyrubat wa al akhlaq laa tu’allalu wa innama yultazamu fiiha bi an nash. (sesungguhnya hukum-hukum ibadah, makanan, minuman, dan akhlaq tidak didasarkan pada illat, namun hanya didasarkan dan berpegang pada nash saja). (Abdul Qadim Zallum, At Ta’rif bi Hizb At Tahrir, hlm. 55).

Mengenai jangka waktu penahanan untuk menghilangkan kemakruhan, kami condong kepada Imam Ibnu Ruslan dalam Syarah As Sunan yang berkata tidak ada jangka waktu tertentu untuk penahanan. Juga pendapat Imam Rafi’i dalam Al Muharrar yang berkata bahwa jangka penahanan tergantung pada kondisi hewan pada umumnya (ghalib). (Imam Syaukani, ibid., hlm. 1612; Syihabuddin Al Syafi’i, ibid., hlm. 52). Wallahu a’lam.

Sumber : Tabloid MU edisi 23