Seputar Cara Memberi Nafkah Anak Dengan Nafkah Yang Baik

Salah satu kewajiban orang tua memberi nafkah pada anak. Pada zaman sekarang ini, banyak orang yang tidak memperdulikan halal dan haram nafkah yang diberikan pada anaknya. Pada artikel ini,  akan dibahas tentang cara memberikan nafkah yang baik pada keluarga. Simak artikel berikut ini.


Soal:

Bagaimana hukum seorang anak yang tinggal bersama ortunya, makan, biaya pendidikan, dan semua biaya kehidupannyapun masih ditanggung oleh ortunya, padahal ortunya ini ada terlibat hutang di sebuah bank konvensional. Namun semua itu dilakukan oleh ortunya karena mereka tidak ingin anak mereka tertinggal, sedangkan untuk hutang ke yang lain, tidak memungkinkan, karena hutangnya lumayan besar.

Jawab:

Pada dasarnya, orang tua berkewajiban menafkahi orang-orang yang berada di bawah tanggungjawabnya, termasuk di dalamnya isteri dan anak-anak. Kewajiban orang tua menafkahi anak ditetapkan berdasarkan firman Allah SWT:

Dan kewajiban ayah memberikan makanan dan pakaian kepada ibu dengan cara yang ma’ruf. Seseorang tidak akan dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.” (QS. al-Baqarah [2]: 233).

Imam Ibnu al-‘Arabi menyatakan, “Ayat ini merupakan dalil wajibnya seorang ayah menafkahi anak-anaknya. Sebab, mereka masih belum mampu dan lemah.” (Imam Ibnu al-‘Arabi, Ahkâm al-Qur’an, juz I, hal. 274).

Dalam kitab Shafâwt at-Tafâsîr, Ali ash-Shabuni menyatakan, “Makna ayat ini adalah, seorang ayah wajib memberikan nafkah dan pakaian kepada isterinya yang telah dicerai jika ia menyusui anak-anaknya.” (Ali ash-Shabuni, Shafâwt at-Tafâsîr, juz 1, hal. 150).

Di dalam sunnah juga dituturkan mengenai kewajiban seorang ayah untuk menafkahi isteri dan anak-anaknya. Rasulullah Saw bersabda:

Ketahuilah bahwa, hak mereka atas kalian adalah supaya kalian berbuat baik kepada mereka dalam hal memberikan pakaian dan makanannya.” [HR. Tirmidzi].

minuman salah satu jenis nafkah dari orang tua ke anak
Ilustrasi nafkah minuman yang baik

Dalam riwayat lain dituturkan, bahwasanya Rasulullah Saw bersabda:

Sedinar yang engkau infakkan di jalan Allah, sedinar yang engkau infakkan dalam pembebasan hamba, sedinar yang engkau sedekahkan kepada orang miskin dan sedinar yang engkau infakkan kepada keluargamu, maka yang lebih besar pahalanya adalah yang engkau infakkan kepada keluargamu.” [HR. Ahmad dan Muslim].

Jika seorang anak (anak laki-laki) telah berusia baligh, maka ia diwajibkan menghidupi dan mengurusi dirinya sendiri. Sebab, ia telah menjadi seorang mukallaf yang diberi beban untuk melaksanakan seluruh perintah Allah secara mandiri, termasuk menafkahi dirinya sendiri. Akan tetapi, jika ia tidak mampu dan miskin, maka orang tua wajib memberi nafkah kepadanya.

Adapun jika ia adalah anak perempuan; maka kewajiban memberi nafkah orang tua gugur, jika anak wanita tersebut telah menikah.

Memberi Nafkah Yang Baik

Namun demikian, seorang ayah wajib memberikan nafkah kepada anaknya dengan nafkah yang halal; yakni nafkah yang diperoleh dari jalan yang sesuai dengan tuntunan Allah SWT. Allah SWT telah berfirman:

Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezki yang telah diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah ni`mat Allah jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah.” (Qs. al-Nahl [16]: 114).

Imam al-Baghawi, dalam tafsir al-Baghawiy, menyatakan, “Menurut ‘Abdullah ibn al-Mubarak, yang dimaksud halal adalah semua rejeki yang diperoleh berdasarkan tuntunan Allah SWT.” (al-Baghawi, Tafsír al-Baghawiy, juz 2, hal. 59; lihat juga Imam asy-Syaukani, Fath al-Qadír, juz 2, hal. 70).

Ayah dan anak, sumber: redaksikota.com

Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah Saw bersabda:

Wahai manusia, sesungguhnya Allah tidak akan menerima sesuatu kecuali yang baik (thayyib), dan sesungguhnya Allah memerintahkan kaum mukmin sebagaimana halnya Ia memerintah para Rasul. Kemudian, Ia berfirman, ‘Wahai para Rasul, makanlah dari rejeki yang baik-baik, dan berbuat baiklah kalian. Sesungguhnya Aku Mengetahui apa yang engkau ketahui.’ Selanjutnya, beliau bercerita tentang seorang laki-laki yang berada di dalam perjalanan yang sangat panjang, hingga pakaiannya lusuh dan berdebu. Laki-laki itu lantas menengadahkan dua tangannya ke atas langit dan berdoa, ‘Ya Tuhanku, Ya Tuhanku…’, sementara itu makanan yang dimakannya adalah haram, minuman yang diminumnya adalah haram, dan pakaian yang dikenakannya adalah haram; dan ia diberi makanan dengan makanan-makanan yang haram. Lantas, bagaimana mungkin doanya dikabulkan?” [HR. Muslim].

Al-Qadli berkata, “[i]Hadits ini merupakan salah satu pilar agama Islam dan tonggak dari hukum-hukum Islam. Ada 40 hadits yang menjadi bagian tak terpisahkan dari hadits ini. Di dalam hadits ini ada perintah kepada kaum muslim untuk berinfak dengan yang rejeki halal, serta larangan untuk berinfak dengan rejeki yang haram. Hadits ini juga menerangkan, bahwa minuman, makanan, pakaian, dan lain-lain harus halal dan terjauh dari syubhat; dan siapa saja yang hendak berdoa hendaknya ia memenuhi syarat-syarat tersebut, dan menjauhi minuman, makanan, dan pakaian yang haram.”

Imam al-Hafidz Abu al-‘Ala al-Mubarakfuri, dalam Tuhfat al-Ahwadziy, menyatakan bahwa makna hadits ini adalah, Allah SWT suci dari noda, dan tidak akan menerima dan tidak boleh mendekatkan diri kepadaNya, kecuali sejalan dengan makna hadits tersebut.

Buah merupakan salah satu rizki - Bagaimana Ukuran Stadar Kecukupan Nafkah Dalam Islam
Ilustrasi nafkah buah segar untuk keluarga

Dari seluruh uraian di atas, kita bisa menyimpulkan, bahwasanya seseorang tidak boleh memberi nafkah keluarganya dengan nafkah yang haram. Sebaliknya, seorang muslim dilarang menerima dan mengkonsumsi sesuatu yang diharamkan oleh Allah swt. Atas dasar itu, seorang anak yang sudah akil baligh mesti menolak nafkah dari orang tua jika ia tahu bahwa nafkah tersebut berasal dari jalan yang haram; misalnya hasil hutang yang mengandung riba. Ia harus berusaha dengan dirinya sendiri, dan menjauhi mengkonsumsi barang-barang yang diharamkan oleh Allah SWT. Sebab, keberkahan hidup seseorang sangat tergantung dari makanan yang dimakannya. Namun jika ia tidak tahu bahwa nafkah yang diberikan orang tua tersebut berasal dari usaha haram, maka hukumnya dimaafkan.

Pada dasarnya, orang tua tidak boleh melibatkan diri dengan riba dengan alasan; kalau tidak pinjam di bank maka pendidikan anaknya akan ketinggalan, dan sebagainya. Jika ia tidak mampu menyekolahkan anaknya di pendidikan-pendidikan formal, ia bisa menempuh jalan lain dengan cara menyekolahkan anaknya di sekolah-sekolah yang murah dengan kualitas yang tidak rendah. Bisa juga ia mendidik anaknya untuk mandiri sejak kecil, hingga anak bisa menafkahi dirinya sendiri, dan berfikir secara mandiri. Masih banyak jalan yang bisa dilakukan agar anak tidak ketinggalan dalam pendidikannya. Yang jelas, orang tua tidak boleh menceburkan atau melibatkan dirinya dalam perbuatan-perbuatan yang diharamkan oleh syariat Islam. Jika orang tua menafkahi anaknya dengan jalan haram, sesungguhnya ia tidak sedang mencintai anaknya, akan tetapi justru menjerumuskan anaknya ke lembah ketidakberkahan. Wallahu A’lam bi al-Shawab.

[Syamsuddin Ramadhan]


Terimakasih sudah membaca artikel yang berjudul asli tentang cara memberikan nafkah yang baik pada keluarga. Artikel ini telah mengalami penambahan gambar, link, dan perubahan pada judul Jika dirasa bermanfaat, silahkan share ke berbagai platform social media yang ada. Semoga menjadi amal sholeh, jazakumullah khair.

Leave a Comment