Mengulurkan Jilbab, Sebatas Apa?

Soal:

Dalam buku An-Nizham al-Ijtima’i halaman 51 baris sebelum terakhir dinyatakan, “dan tidak perlu menutup kedua kaki karena keduanya telah tertutupi.” Bisakah itu diartikan, tidak perlu mengenakan kaos kaki? Di sisi lain, jika wanita tersebut telah memakai kaos kaki hingga kedua tumit dan telapak kakinya tertupi, apakah kewajiban irkha’-nya tidak harus menyentuh tanah?

Jawab:

Kalimat “dan tidak perlu wanita menutupi kedua kaki karena keduanya sudah tertutupi”memang benar bermakna bahwa wanita tak harus mengenakan pakaian yang menutupi kedua kakinya di kehidupan umum jika pakaiannya dalam kehidupan umum (jilbabnya) telah diulurkan hingga ke tanah, sejengkal atau sehasta, dan tidak lebih, sebagaimana yang dijelaskan secara utuh dalam alenia tersebut.

Dalam konteks ini memang ada dua fakta hukum. Pertama: hukum menutup aurat, khususnya bagian bawah kaki wanita hingga kedua telapak kakinya. Kedua: hukum mengulurkan bagian bawah jilbab wanita.

Kedua fakta hukum ini, dalam pandangan al-‘Alim ‘Atha’ Abu Rusythah, Amir Hizbut Tahrir saat ini, bisa diselesaikan dengan dua alternatif. Pertama: Dengan mengulurkan bagian bawah pakaian wanita (jilbab) hingga menutupi kedua tumit dan telapak kakinya. Jika ini dilakukan, perintah irkha’ (mengulurkan bagian bawah pakaian wanita/jilbab) tersebut telah ditunaikan; sekaligus menutupi aurat “kedua tumit dan telapak kaki”.

Kedua: Dengan memakai kaos kaki yang menutupi aurat berupa “kedua tumit dan telapak kakinya” hingga ke betis. Bagian bawah pakaian (jilbab)-nya tetap wajib diulurkan hingga menutup kedua mata kaki dan tidak harus diulurkan hingga menyentuh tanah. Pasalnya, “kedua tumit dan telapak kaki” telah tertupi dengan kaos kaki.

Dengan cara ini, kedua fakta hukum tersebut, yaitu menutup aurat berupa “kedua tumit dan telapak kaki” dan irkha’ sama-sama telah ditunaikan meski dengan cara yang berbeda.

Lalu apa dalil dan bagaimana penarikan dalil dari kedua fakta hukum di atas? Pertama: Dulu kaum perempuan khususnya di kampung berjalan dengan telanjang kaki atau memakai terompah atau alas kaki yang tidak menutupi kedua kakinya secara penuh. Akibatnya, sering kedua kaki mereka terlihat kecuali jika mereka mengulurkan pakaian mereka sampai tanah.

Kedua: Ketika Rasulullah saw. melarang orang menyeret pakaiannya karena sombong, Ummu Salamah memandang, jika pakaian kaum perempuan tidak dipanjangkan sampai ke tanah maka saat berjalan dan menggerakkan kedua kaki mereka, pasti kedua kaki mereka terlihat. Pasalnya, kedua kaki mereka tidak tertutupi atau, kalaupun memakai terompah, kedua kaki mereka tetap tidak tertutupi secara sempurna. Karena itu Ummu Salamah bertanya kepada Rasulullah saw., “Lalu bagaimana kaum perempuan harus memperlakukan bagian bawah pakaiannya?” Ketika itu jilbab atau mantel mereka dipanjangkan sampai menyentuh tanah agar kedua kaki mereka tidak terlihat. Rasulullah saw. lalu membolehkan mereka untuk memanjangkan ujung pakaian mereka sejengkal jika kedua tumit dan telapak kaki mereka masih terlihat, lalu sehasta melebihi kedua kaki, sehingga saat mereka berjalan kaki telanjang, kedua kaki mereka tak lagi terlihat selama pakaian mereka dipanjangkan melebihi kedua kaki mereka sampai menyasar tanah.

Jadi, konteks perintah irkha’ tersebut adalah “mengulurkan pakaian untuk menutupi kedua kaki”. Jadi, alasan pensyariatan irkha’ itu tak lain adalah menutupi kedua tumit dan telapak kaki hingga tidak terlihat. Dengan demikian ini bisa disebut ‘illat pensyariatan irkha’.

Terkait ‘illat, kaiduh ushul menyatakan: al-ma’lûl (hukum) beredar bersama ‘illat (alasan pensyariatannya), dari aspek ada dan tidaknya. Jika ‘illat-nya ada, hukumnya pun ada. Jika ‘illat-nya tidak ada, maka hukumnya pun tidak ada. ‘Illat dari perintah irkha’ (mengulurkan bagian bawah jilbab wanita) adalah untuk menutup kedua tumit dan telapak kaki. Jika kedua tumit dan telapak kaki tersebut sudah tertutupi dengan kaos kaki, berarti kewajiban irkha’ tersebut telah terwujud. Dengan demikian kewajiban mengulurkan jilbab hingga menyentuh tanah tidak lagi diperlukan, namun cukup sampai mata kaki. Sebaliknya, jika kedua tumit dan telapak kaki tersebut tidak ditutupi dengan kaos kaki, maka kewajiban irkha’ tersebut belum terwujud. Karena itu mengulurkan bagian bawah jilbab hingga menutupi kedua tumit dan telapak kaki tetap wajib dilakukan. Inilah yang dinyatakan oleh Allah SWT:

يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلابِيبِهِنَّ

Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka (QS al-Ahzab [33]: 59).

Ketiga: Ummu Salamah meminta penjelasan mengenai masalah ujung pakaian para wanita kepada Nabi saw. Ummu Salamah memandang, jika pakaian tidak diulurkan sampai ke tanah, pasti kedua kaki akan terlihat, ketika perempuan tersebut berjalan. Ini benar. Karena itu Rasulullah saw. membolehkan perempuan tersebut mengulurkan pakaiannya sejengkal atau sehasta hingga ke tanah.

Seputar ‘Illat dalam Masalah Pakaian

Masih ada satu masalah, bukankah Hizbut Tahrir menyatakan bahwa hukum dalam masalah pakaian, makanan, minuman, ibadah dan akhlak tidak disertai ‘illat?

Benar. Pakaian, makanan, minuman, ibadah, akhlak dan sanksi hukum tidak disertai ‘illat(alasan hukum). Namun, konotasinya tidak seperti yang selama ini dibayangkan.

Yang tidak disertai ‘illat dalam ibadah, misalnya, adalah ibadahnya itu sendiri. Misalnya, kewajiban shalat subuh hanya dua rakaat jelas tidak dinyatakan dengan ‘illat. Begitu juga zakat, mengapa satu kambing dikeluarkan untuk tiap kepemilikan empat puluh kambing, bukannya lima puluh kambing? Contoh lain, mengapa tawafdalam haji tujuh putaran, bukan sembilan putaran? Mengapa kita melempar batu (jumrah) sebanyak tujuh lemparan, bukan delapan lemparan? Begitu halnya puasa, mengapa kita berpuasa sebulan, bukan empat puluh hari? Begitu seterusnya.

Namun, di luar ibadah, atau di luar konteks pelaksanaannya, dalam konteks ini bisa saja disertai ‘illat. Contoh, Ahmad telah mengeluarkan riwayat dari ‘Abdullah bin az-Zubair berkata:Seorang pria dari Khats’am datang kepada Rasulullah saw. seraya bertanya, “Sesungguhnya ayahku telah bertemu dengan Islam saat beliau berusia lanjut. Beliau tidak mampu menaiki kendaraan, sementara haji diwajibkan kepada beliau. Apakah boleh saya menggantikan kewajibannya berhaji?” Nabi saw. bertanya, “Apakah kamu anak yang paling tua?” Dia menjawab, “Benar.” Nabi saw. bertanya lagi, “Bagaimana menurut kamu seandainya ayahmu mempunyai tanggungan hutang, apakah kamu wajib membayarnya? Apakah itu bisa menggantikannya?.” Dia menjawab, “Tentu.” Nabi saw. lalu bersabda, “Berhajilah untuk dia.”(HR Ahmad).

Di sini, Nabi saw. memberikan reasoning (alasan hukum) ‘illat kewajiban menggantikan haji orangtua dengan analogi kewajiban membayarkan hutangnya.

Contoh lain, Umar bin al-Khaththab ra. menyatakan: Suatu hari aku  beristirahat dan mencium istriku, sementara aku sedang berpuasa. Lalu aku mendatangi Nabi saw. dan bertanya, “Aku telah melakukan sesuatu yang fatal hari ini. Aku telah mencium (istriku) ketika sedang berpuasa.” Rasulullah saw. bertanya, “Bagaimana pendapat kamu bila kamu berkumur dengan air dalam keadaan berpuasa?” Aku menjawab, “Tidak masalah.” Rasulullah saw. menjawab, “Ini juga sama.” (HR Al-Hakim).

Hadis di atas sahih berdasarkan syarat al-Bukhari dan Muslim sekalipun kedua tidak mengeluarkan hadis tersebut. Dengan kata lain, ciuman ini sama hukumnya dengan berkumur.

Di sini, Nabi memberikan reasoning (alasan hukum) ‘illat bahwa ciuman tidak membatalkan puasa, sebagaimana berkumur tidak membatalkan puasa, dengan syarat airnya tidak ditelan ke tenggorokan.

Ketentuan tentang ‘illat dalam konteks ibadah ini juga berlaku dalam konteks pakaian, makanan, minuman, akhlak dan sanksi hukum. Dalam konteks pakaian wanita tersebut bisa dijelaskan, bahwa kewajiban wanita memakai jilbab dalam kehidupan umum tidak dijelaskan alasannya. Demikian juga kewajiban menutup aurat. Namun, tentang kewajiban irkha’(mengulurkan bagian bawah jilbab) disertai alasan (‘illat), yaitu untuk menutupi kedua tumit dan telapak kaki wanita. [KH. Hafidz Abdurrahman]