Menyerah dan Menyerahkan Negeri Muslim, Bolehkah?

Bahaya yang bisa mengancam keamanan suatu negara dapat terjadi kapan saja dan dari mana saja. Lalu bagaimana sikap kita sebagai seorang mukmin/muslim yang mengaku beriman kepada Allah subhanahu wa ta’ala ketika negara yang kita tempati terancam keselamatannya, atau diserang oleh negara musuh? Lebih jelasnya, mari kita simak ulasan berikut ini.


Soal:

Jika negeri kaum Muslim diserang oleh musuh, sebagaimana yang dialami oleh Palestina, Irak dan Afganistan, apakah diperbolehkan kaum Muslimin, baik secara pribadi atau kelompok menyerah, dan menyerahkan negerinya kepada musuh?

Jawab:

Hukum berjihad bagi kaum Muslim, jika negeri mereka diserang oleh musuh, seperti Palestina, Irak dan Afganistan adalah fardhu ‘ain. Meski dalam rinciannya ada perbedaan di kalangan fuqaha’. Al-Qurthubi, dari mazhab Maliki, misalnya, menyatakan bahwa fardhu tersebut berlaku bagi setiap Muslimin, baik pria maupun wanita dan tua maupun muda, sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Sedangkan Ibn Qudamah, dari mazhab Hanbali, menyatakan kewajiban tersebut berlaku untuk ahl al-qital, yaitu orang yang mempunyai kemampuan berperang. Dasarnya adalah firman Allah SWT:

انْفِرُواْ خِفَافاً وَثِقَالاً وَجَاهِدُواْ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنفُسِكُمْ فِي سَبِيلِ اللّهِ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ ﴿٤١﴾

Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah. yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu Mengetahui.” (Q.s. at-Taubah [09]: 41)

Potret Palestina, foto: aa.com.tr

Firman Allah yang menyatakan: infiru khifafan wa tsiqalan (Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat), juga kecaman Allah kepada mereka yang ingin meninggalkan medan perang saat Perang Khandak, ketika kaum Muslimin di Madinah dikepung musuh dari segala penjuru, menunjukkan bahwa hukum berperang bagi mereka ketika negeri mereka diserang adalah fardhu ‘ain. Karena itu, hukum berperang bagi kaum Muslimin di Palestina, Irak dan Afganistan adalah fardhu ‘ain.

Jika kaum Muslimin di Palestina, Irak dan Afganistan tidak mampu menghadapi serangan musuh, maka bagi kaum Muslimin yang berdekatan wilayahnya dengan mereka wajib menolong. Karena itu, hukum berperang bagi kaum Muslimin yang berdekatan dengan mereka adalah juga wajib. Allah berfirman:

وَإِنِ اسْتَنصَرُوكُمْ فِي الدِّينِ فَعَلَيْكُمُ النَّصْرُ

“(Akan tetapi) jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan.” (Q.s. al-Anfal [08]: 72)

Hanya saja, kewajiban tersebut tidak bisa dilakukan oleh kaum Muslimin, sebagaimana yang dialami oleh rakyat Mesir, Suriah, Libanon, Yordania dan Saudi, karena mereka dihalangi oleh para penguasa mereka. Maka, mereka tetap berdosa, namun yang paling berdosa adalah para penguasa pengkhianat mereka. Karena itu, dalam kondisi seperti ini, muncul pertanyaan, bagaimana jika kaum Muslimin di masing-masing negeri tersebut pada akhirnya menyerah?

Dalam kondisi seperti ini ada dua fakta yang harus dibedakan: Pertama, menyerahnya individu atau kelompok kepada musuh; Kedua, diserahkannya negeri mereka kepada musuh.

Ilustrasi peperangan kaum muslim, foto: izi.or.id

Baca Juga: Pilih Berjihad atau Berdakwah? (Disertai Pendapat Ulama & Dalil Al Quran)

Dalam konteks yang pertama, menyerahnya individu atau kelompok kepada musuh, ada dua hukum, yaitu hukum asal (‘azimah) dan hukum rukhshah. Dengan kata lain, dalam kondisi apapun, baik terdesak maupun kalah, maka jika mengambil hukum asal (‘azimah), kaum Muslimin tetap tidak akan menyerahkan diri. Namun, pada saat yang sama, kondisi terdesak maupun kalah ini juga bisa menjadi rukhshah bagi kaum Muslimin untuk menyerahkan diri.

Al-Bukhari dan Abu Dawud telah menuturkan kisah Perang ar-Raji’ yang terjadi pada tahun ke-3 Hijrah, dimana Nabi mengirim detasemen yang berjumlah 10 orang, yang dipimpin oleh ‘Ashim bin Tsabit. Ketika mereka sampai di al-Haddah, yaitu kawasan antara ‘Utsfan dan Makkah, atau juga disebut Bani Lihyah, mereka dikepung oleh 100 pemanah. Mereka dipaksa untuk menyerah. ‘Ashim bersama 6 personil tentaranya tidak mau menyerah, dan melakukan perlawanan hingga gugur sebagai syuhada’. Sedangkan 3 yang lainya, yaitu Khubaib, Zaid bin ad-Datsinah dan seorang lagi, menyerahkan diri demi menyelamatkan nyawa mereka. Meski, ketiga-tiganya pada akhirnya juga dibunuh. Peristiwa ini sampai kepada Nabi, namun baginda saw. tidak menafikan sikap salah satu di antara kedua kelompok tersebut, baik yang melakukan perlawanan maupun yang menyerahkan diri. Diamnya Nabi terhadap sikap mereka menunjukkan, bahwa pilihan tersebut sama-sama dibenarkan. Baik yang mengambil hukum asal (‘azimah), seperti ‘Ashim dan 6 personil tentaranya, maupun yang mengambil hukum rukhshah, seperti Khubaib, Zaid bin ad-Datsinah dan seorang lagi.

Namun, konteks ini berkaitan dengan hukum individu atau kelompok yang menyerahkan diri mereka kepada musuh. Konteks ini tentu tidak bisa diberlakukan untuk wilayah atau negeri mereka. Pertama, karena tasharruf atas diri dan kelompok tersebut memang merupakan hak masing-masing orang dan kelompok tersebut. Ini berbeda dengan wilayah atau negeri mereka. Kedua, wilayah dan negeri kaum Muslimin tasharruf-nya merupakan hak Khalifah, yang menjadi pemimpin seluruh kaum Muslimin di seluruh dunia. Dengan tidak adanya Khalifah, berarti tidak ada hak bagi penguasa Mesir, Yordania, Suriah, Libanon, Palestina dan Irak untuk menyerahkan wilayah atau negeri mereka kepada musuh, sebagaimana yang mereka lakukan terhadap Palestina kepada Israel. Termasuk menandatangani perjanjian atas nama kaum Muslimin. Hatta Khalifah sekalipun tidak boleh menyerahkan wilayah dan negeri mereka.

Hanya saja, ada satu kondisi yang memungkinkan bagi seorang Khalifah untuk mengadakan perjanjian dengan kompensasi kepada musuh, yang dalam bahasa fikih disebut Mu’ahadah idhthirariyyah (perjanjian terpaksa), sebagaimana yang hendak dilakukan oleh Nabi pada saat Perang Khandak. Meski akhirnya tidak jadi.

Sejarah dunia islam, foto: file pribadi

Baca Juga: Khilafah Tegak, Apakah Jihad Satu-Satunya Metode untuk Mencapainya?

Hanya saja, perjanjian seperti ini tetap harus bersifat sementara, bukan bersifat permanen. Maksimal 10 tahun, sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi saat Perjanjian Hudaibiyah. Dari kasus ini bisa ditarik mafhum mukhalafah, bahwa lebih dari 10 tahun tidak boleh, apalagi perjanjian permanen. Lebih tidak boleh lagi. Dalam sejarah Khilafah, Khalifah Abdul Malik bin Marwan pernah melakukan perjanjian seperti ini, ketika menghadapi masa-masa sulit dan kekacauan di dalam negeri. Sampai beliau harus membayar upeti kepada Emperium Konstantinople, sejak beliau diangkat menjadi Khalifah. Namun dalam beberapa tahun kemudian beliau berhasil mengambil kembali wilayah Khilafah yang sebelumnya lepas, kemudian disatukan kembali dalam naungan Negara Khilafah.

Namun, dalam kasus dengan Israel berbeda. Karena sebenarnya tidak ada satu pun kondisi yang membuat kaum Muslimin terpaksa harus menyerahkan wilayah atau negeri Palestina. Yang ada adalah, adanya para penguasa yang berkhianat, sehingga mereka harus membantai tentaranya sendiri, lalu mereka menyatakan diri kalah di depan Israel. Beberapa seri peperangan pun tidak mereka lakukan dengan sungguh-sungguh. Mereka selalu mengalah, untuk menciptakan mitos, bahwa Israel memang kuat dan tidak bisa dikalahkan. Dengan begitu, berdamai dengan Israel pun menjadi keharusan. Disamping itu, mereka juga tidak mempunyai hak sebagaimana layaknya seorang Khalifah. Wallahu a’lam.


Terimakasih sudah membaca artikel yang berjudul “Menyerah dan Menyerahkan Negeri Muslim, Bolehkah?”. Kami dari anaksholeh.net telah menambahkan gambar, link, featured image, perbaikan judul, perbaikan alenia dan pemberian pembuka serta penutup agar lebih menarik. Jika artikel ini dirasa bermanfaat, silahkan share melalui sosial media. Jazakumullah khair.

Catatan:

[1] Al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, juz VIII, hal. 151-152; as-Syafii, al-Umm, juz IV, hal. 170; al-Kasani, Badai’ as-Shana’i, juz VII, hal. 98; ad-Dardiri, as-Syarh al-Kabir, juz II, hal. 174-175.

Ibn Qudamah, al-Mughni, juz X, hal. 389.

Lihat, firman Allah surat al-Ahzab [33]: 13.

Lihat, al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, hadits no. 3989; Ibn Hajar, Fath al-Bari: Syarah Shahih al-Bukhari, juz VII, hal. 308; Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, no. 2660, juz III, hal. 69.

Lihat, Iyad Hilal, al-Mu’ahadat ad-Duwaliyyah fi as-Syari’ah al-Islamiyyah, Dar an-Nahdhah al-Islamiyyah, Beirut, cet. I, 1991, hal. 159-164.

Lihat, Ibid, hal. 164.

sumber : http://hizbut-tahrir.or.id/2009/01/14/soal-jawab-menyerah-dan-menyerahkan-negeri-muslim/#comment-24080

Leave a Comment