Penggunaan mimbar pada masjid-masjid yang ada hari ini, baik di Indonesia sendiri maupun di berbagai mancanegara merupakan satu hal yang lumrah. Sebab keberadaannya sudah menjadi bagian dari masjid itu sendiri yang seakan-akan tidak bisa lepas dari aktivitas ceramah atau dakwah. Namun bagaimana sesungguhnya hukum penggunaan mimbar di Masjid?
Persoalan ini menjadi penting oleh sebab adanya keharusan bagi kaum muslimin dalam memastikan segala tindak tanduk mereka agar senantiasa selaras dengan hukum syara. Baik dalam hal perbuatan maupun hukum tentang barang. Baik aktivitas ibadah maupun aktivitas-aktivitas di luar ibadah. Sehingga dengan pemahamaan yang memadai, sesuatu bisa menjadi lebih jelas hukum dan kedudukannya di mata syara’
Sesuatu, dalam hal ini perbuatan maupun benda ketika telah jelas hukum dan kedudukannya, maka jadilah ia standar bagi kaum muslimin dalam berujar maupun bersikap. Demikian sebaliknya, ketika sesuatu itu belum jelas hukum dan kedudukannya maka menjadi persoalan bagi kaum muslimin sendiri tentang apa yang kemudian akan mereka jadikan sebagai standar.
Oleh karena itu sangat penting untuk selalu mendudukkan segala persoalan hingga jelas hukum dan kedudukannya di mata syara’. Tidak terkecuali dalam persoalaan ini adalah hukum penggunaan mimbar di Masjid.
Latar Belakang Penggunaan Mimbar di Masjid

Mimbar atau minbar adalah sebuah sarana yang dengannya seorang imam bisa berdiri untuk memberikan khutbah Jum’at maupun ceramah-ceramah di hari-hari biasa. Dengan bentuk mimbar yang lebih tinggi memungkinkan bagi seorang imam atau penceramah untuk melihat jamaah secara lebih luar serta jama’ah juga bisa mendengarkan apa yang disampaikan oleh khatib atau penceramah dengan lebih jelas.
Penggunnaan mimbar sendiri bermula di suatu ketika Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang mulai merasa berat untuk berdiri terlalu lama dalam menyampaikan khubahnya. Sebab mimbar ketika awal-awal hanya serupa gundukan agar Nabi mudah untuk mengenali siapa-siapa yang hadir. Maka ditancapkanlah batang pohon kurma di samping tempat beliau berkhutbah. hal ini dilakukan agar beliau bisa bersandar jika merasakan lelah.
Singkat cerita kemudian ada seseorang yang menawarkan diri untuk membuatkan Nabi mimbar agar mudah bagi beliau jika harus duduk. Maka oleh Nabi diperintahkan untuk membuat mimbar tersebut. Inilah awal mula keberadaan mimbar yang kini bisa kita lihat di sebagian besar masjid-masjid kaum muslimin sebagai sarana pendukung dalam menyampaikan amar makruf nahi mungkar.
Atas dasar itu dapat dinyatakan bahwa kemunculan mimbar bukanlah berdasarkan wahyu secara langsung, namun bertolak dari ide sahabat. Demikian halnya dengan bentuk mimbar itu sendiri yang sepenuhnya kembali pada kreasi si tukang kayu pada masa itu.
Pandangan Ulama
Memperhatikan rangkaian sababul wurud atau sebab-sebab munculnya peristiwa penggunaan mimbar serta bentuk dari mimbar itu sendiri muncul dari gagasan sahabat dengan kapasitasnya sebagai manusia. Sehingga dapat difahami bahwa penggunaan mimbar terlebih bentuk dari mimbar itu sendiri bukanlah sesuatu yang bersifat mengikat kaum muslimin. Berbeda halnya dengan tata cara dakwah Nabi yang sifatnya mengikat untuk diikuti.

Dalam kasus ini oleh para ahli ushul fiqh, disebut dengan istilah la hukma lahu ashlan yang artinya kasus ini tidak mengandung hukum sama sekali. Atau la imtimsaka bihi yang artinya tidak untuk menjadi pegangan, dan penyebutan-penyebutan senada lainnya. Atau dalam istilah ulama kontemporer semisal Syaikh Yusuf al-Qaradhawi sebagai sunnah ghair tasyri’iyah, yaitu sunnah yang tidak dimaksudkan sebagai ketetapan hukum untuk diikuti dan diamalkan.
Itulah mengapa dalam kitab-kitab fiqh tidak didapati bahwa penggunaan mimbar merupakan bagian dari syarat sah shalat Jum’at. Terlebih jika diharuskann adanya kesamaan mimbar hari ini sebagaimana yang banyak kita dapati di berbagai toko mebel Jogja dan lainnya dengan mimbar Nabi. Sebab mimbar sejatinya adalah sarana yang digunakan oleh seorang khatib atau penceramah untuk membantu dalam berkomunikasi dengan jamaah. Agar mudah tampak dan terdengar dengan jelas satu sama lainnya.
Kesimpulan
Jadi bisa disimpulkan bahwa penggunaan mimbar di dalam masjid pada dasarnya merupakan sesuatu yang sah-sah saja untuk dilakukan. Atau mubah untuk menggunakan mimbar di dalam Masjid. Hal ini di samping penjelasan sebelumnya, juga ada kaidah tentang benda dimana disebutkan bahwa hukum asal segala sesuatu adalah mubah melainkan ada dalil yang mengharamkan. Segala sesuatu di sini berkonotasi pada persoalan-persoalan teknis yang tidak terkait dengan peribadatan,

Sedangkan hukum asal ibadah adalah haram hingga ada dalil yang menjelaskan keharusannya. Sedangkan persoalan mimbar merupakan persoalan teknis yang meskipun ada hubungan dengan aktivitas khutbah yang notabene merupakan bagian dari ibadah Jum’at namun hubungannya bukan merupakan hubungan secara langsung, melainkan sebatas hubungan teknis pelaksanaan ibadah dengan sarana pendukung. Ibarat shalat dengan sajadah, dzikir dengan bantuan tasbih ataupun berbagai sarana pendukung dan persiapan sebelum pidato lainnya.
Sebagai keterangan tambahan terkait dengan posisi mimbar di dalam masjid, menurut sejumlah keterangan ulama, dianjurkan untuk memposisikan mimbar di sisi utara mihrab. Sebagaimana keterangan dari Ibnu Qudamah yang merupakan salah seorang ulama hambali bahwa dianjurkan agar mimbar diletakkan di sisi kanan kiblat atau mihrab. Senada dengan ini adalah keterangan imam An Nawawi, al Buhuti dan lain sebagainya.
Meski demikian tetap perlu menjadi catatan adalah bahwa posisi mimbar tersebut hanya sebatas anjuran, bukan sebuah kewajiban yang dapat mempengaruhi keabsahan sebuah ibadah seperti ibadah Jum’at. Karna memang tidak ada tuntutan sebagai indikasi dari kewajiban. Akhir kata mudah-mudahan bisa bermanfaat. Sekian dan terima kasih.