Tak Perlukah Negara Islam? Simak Jawabannya (Penting)

Negara Islam adalah suatu negara yang setiap perilaku politiknya terikat dengan kaidah-kaidah islam, baik dalam mengambil kebijakan, memutuskan perkara, tatanegara, sistem ekonomi dan lainnya. Namun, banyak yang menganggap bahwa mendirikan Negara Islam bukanlah hal yang diharuskan atau bahkan tidak layak diterapkan diera modern seperti ini.

Lalu, apakah benar bahwa mendirikan Negara Islam bukanlah suatu keharusan atau bahkan tidak diajarkan dalam Islam? Lebih jelasnya, mari kita simak ulasan berikut ini.


Soal:

Ada yang mengatakan, bahwa Indonesia adalah Negara Islam. Alasannya, pemimpinnya Muslim, sebagian hukum Islam diterapkan di dalamnya, dan rakyatnya juga bebas menjalankan agamanya. Karena itu, menerut mereka, tidak wajib mendirikan Negara Islam di Indonesia. Lebih naif lagi, konon ini merupakan pendapat ulama Ahlus Sunnah. Benarkah demikian?

Jawab:

Pertama-tama harus dijelaskan, bahwa dalam khazanah fikih Islam memang ada tiga istilah yang saling terkait, yang berkaitan dengan Negara Islam, yaitu al-Khilafah, Dar al-Islam dan al-Bilad al-Islamiyyah. Ketiga istilah ini, karena keterbatasan bahasa terjemah, jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, memang hampir sama. Padahal masing-masing faktanya berbeda.

Ilustrasi globe dunia (bumi), foto: tirto.id

Baca Juga: Khilafahkah ‘Negara Islam’ di Irak dan Syam?

Al-Khilafah adalah istilah yang digunakan dalam as-Sunnah, sebagaimana dalam hadis Ahmad dari Nu’man bin Basyir; Khilafah disebut sebagai negara, bentuk dan sistem pemerintahan pasca Nubuwwah, yang akan kembali lagi setelah era Mulkan ‘Addhan(rezim zalim) dan Mulkan Jabariyyah (rezim diktator).1 Selain itu, al-Quran juga menggunakan ungkapan yang mempunyai akar kata dan makna yang sama, yaitu la yastakhlifannahum (pasti akan memberikan Khilafah kepada mereka) (QS an-Nur [24]: 55). Karena itu, Khilafah merupakan isim syar’i, yaitu kata yang digunakan oleh syariah, dengan makna dan konotasi yang ditetapkan oleh syariah itu sendiri.2

Memang, banyak definisi yang mendeskripsikan makna dan konotasi Khilafah ini. Namun,menurut kami, definisi yang paling kuat (rajih), karena memenuhi aspek jami’ dan mani’adalah:

Khilafah adalah kepemimpinan umum kaum Muslim di seluruh dunia untuk menegakkan hukum-hukum syariah Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia.3

Khilafah dan imamah merupakan dua istilah dengan makna dan konotasi yang sama. Bedanya, istilah Khilafah digunakan oleh as-Sunnah, sedangkan Imamah digunakan oleh para ulama ushuluddin. Setelah buku-buku filsafat Yunani seperti Republic karya Plato dan Politic karya Aristoteles diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, maka istilah dawlah(negara) mulai dikenal oleh umat Islam. Pada pertengahan abad ke-3 H, istilah dawlahmulai digunakan oleh ulama kaum Muslim, seperti Ibn Qutaibah ad-Dainuri (w. 276 H) untuk menyebut Khilafah4; kemudian diikuti oleh Yaqut al-Hamawi (w. 626 H) dalamMu’jam al-Buldan, Ibn Taimiyyah (w. 726 H) dalam Majmu’ al-Fatawa, Ibn Katsir (w. 774 H) dalam al-Bidayah wa an-Nihayah serta Ibn Khaldun (w. 808 H) dalam Muqaddimah danTarikh Ibn Khaldun. Sejak itu, istilah ad-Dawlah al-Islamiyyah menjadi padanan kata al-Khilafah.

Ilustrasi seorang imam, foto: file pribadi

Dari sini bisa disimpulkan, bahwa kata al-Khilafah, al-Imamah dan ad-Daulah al-Islamiyyah merupakan bentuk sinonim; kata yang berbeda, tetapi makna dan konotasinya sama. Karena itu, fakta hukum (manath hukm) Negara Islam dan Imamah adalah fakta hukum Khilafah. Maka dari itu, keberadaannya serta hukum mendirikan maupun mempertahankannya adalah sama. Para ulama dari berbagai mazhab juga tidak ada perbedaan pendapat dalam masalah ini.5

Adapun tentang Dar al-Islam, secara umum jumhur ulama berpendapat, bahwa Dar al-Islam adalah wilayah yang didiami oleh kaum Muslim dan hukum-hukum Islam diberlakukan kepada mereka. Jika hukum-hukum Islam tidak diberlakukan, maka tidak disebut Dar al-Islam, sekalipun berdampingan dengannya. Ini seperti Thaif, yang dekat sekali dengan Makkah, yang tidak secara otomasi menjadi Dar al-Islam, ketika Makkah ditaklukkan.6

Qadhi al-Qudhat Abu Yusuf dan Abu al-Hasan as-Syaibani, dari mazhab Hanafi menegaskan, “Setiap negeri/wilayah bisa dinisbatkan pada Islam atau kufur. Negeri/wilayah hanya dinisbatkan pada Islam jika hukum-hukum Islam diterapkan di dalamnya; dinisbatkan pada kufur jika hukum-hukum kufur diterapkan di sana…Sebab, adanya Islam atau kufur itu tampak pada hukum-hukum Islam atau kufur tersebut.”

Dengan demikian, manath hukm negeri/wilayah ini mengikuti hukum yang diterapkan di dalamnya.7

Pandangan ini sekaligus menyanggah pandangan Abu Hanifah, khususnya syarat Dar al-Islam menjadi dar al-kufur jika berbatasan dengan dar al-kufur.8 Selain itu, Abu Yusuf dan Muhammad bin Zafar juga menegaskan, bahwa kriteria negeri/wilayah tersebut menjadiDar al-Islam atau dar al-kufur ditentukan oleh dua faktor: al-ghalabah (kekuasaan untuk melindungi keamanan) dan al-ahkam (hukum yang diterapkan).9

Ilustrasi kota Baghdad kuno, foto: intisari.grid.id

Memang ada pernyataan yang dinyatakan oleh mazhab as-Syafii, “Dar al-Islam adalah setiap negeri yang telah dibangun oleh kaum Muslim, seperti Baghdad dan Basrah; atau penduduknya telah memeluk Islam, seperti Madinah atau Yaman; atau ditaklukkan dengan paksa, seperti Khaibar, Mesir atau Sawad Irak; atau ditaklukkan dengan perjanjian damai, yang tanahnya menjadi milik kita, sedangkan kaum kafir yang menetap di dalamnya wajib membayar jizyah.” 10

Sebenarnya ini bukanlah kriteria Dar al-Islam, melainkan al-Bilad al-Islamiyyah. Sebab, boleh jadi negeri-negeri tersebut kehilangan salah satu syarat, yaitu: menjalankan pemerintahan berdasarkan Islam; atau keamanan yang bersifat independen; atau kedua-duanya sekaligus. Maka dari itu, negeri-negeri seperti ini tidak disebut lagi Dar al-Islam, tetapi tetap disebut Bilad Islamiyyah.11

Berdasarkan definisi, kriteria, kategori dan fakta yang telah dijelaskan di atas, maka bisa disimpulkan, bahwa Indonesia merupakan Bilad Islamiyyah, karena mayoritas penduduknya Muslim, sebagaimana Madinah dan Yaman. Namun, Indonesia saat ini tidak memenuhi kriteria melaksanakan hukum Islam, sehingga tidak bisa disebut Dar al-Islam. Indonesia juga tidak bisa disebut Negara Islam, dengan makna dan konotasi Khilafah atau Imamah, karena jelas-jelas tidak menerapkan hukum Islam secara kaffah dan sekaligus di seluruh wilayahnya. Selain itu, Indonesia saat ini juga masih dijajah oleh Amerika, baik di bidang politik, ekonomi, pertahanan dan keamanan maupun yang lain sehingga kriteria mustaqillah (independen) sebagai salah satu syarat untuk bisa diakui sebagai Khilafah juga tidak ada.

Ilustrasu sekelompok umat muslim menjalankan fungsi dakwah, foto: file pribadi

Dengan demikian, manath hukm Indonesia saat ini sama seperti negeri-negeri kaum Muslim yang lain, yaitu Bilad Islamiyyah, tetapi tidak memenuhi kriteria Dar al-Islamsehingga wajib diperjuangkan menjadi Dar al-Islam. Untuk bisa menjadi Dar al-Islamharus Indonesia harus memenuhi dua hal: Pertama, hukum Islam harus diterapkan secara menyeluruh di seluruh wilayahnya; Kedua, kekuatan untuk mempertahankan keamanan, baik dari dalam maupun luar negeri harus berada di tangan kaum Muslim. Kedua hal ini hanya bisa diwujudkan jika Indonesia berada dalam naungan Khilafah. Dengan kata lain, untuk mewujudkan Indonesia menjadi Dar al-Islam adalah dengan menegakkan Khilafah, atau bergabung dengan Khilafah, jika Khilafah tidak berdiri di Indonesia.

Karena itu, perjuangan untuk menegakkan Khilafah di seluruh negeri kaum Muslim, termasuk Indonesia, adalah kewajiban yang telah ditetapkan oleh syariah, dan disepakati oleh para ulama. Cukuplah penjelasan Imam an-Nawawi dalam kitabnya, Rawdhah ath-Thalibin wa ‘Umdah al-Muftin, menjadi syahid, bahwa mendirikan imamah hukumnya fardhu kifayah. Jika hanya ada satu orang (yang layak) maka dia wajib diangkat. Jika tidak ada yang mengajukannya maka Imamah itu wajib diusahakan. Imamah yang dimaksud oleh Imam an-Nawawi di sini tak lain adalah Khilafah, atau Negara Islam.12 WalLahu a’lam. 


Terimakasih sudah membaca artikel yang berjudul “Tak Perlukah Negara Islam? Simak Jawabannya (Penting)”. Kami dari anaksholeh.net telah menambahkan gambar, link, featured image, perbaikan pada judul, perbaikan alenia dan pemberian pembuka serta penutup agar lebih menarik. Jika artikel ini dirasa bermanfaat, silahkan share melalui sosial media. Jazakumullah khair.

Catatan kaki:

1 Ahmad bin Hanbal, Musnad Imam Ahmad, hadis 17680.

2 Lihat: al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, XII/297.

3 Abd al-Qadim Zallum, Nizham al-Hukm fi al-Islam, Dar al-Ummah, Beirut, hlm. 25.

4 Ibn Qutaibah ad-Dainuri, Al-Imamah wa as-Siyasah, Syarikah Maktabah wa Mathba’ah Musthafa al-Babi al-Halabi wa Auladuhu bi Mishra, Mesir, cet. terakhir, 1969, II/130.

5 Lihat: Abu al-Hasan al-Asy’ari, Maqalat al-Islamiyyin wa Ikhtilafi al-Mushallin, II/149.

6 Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, Ahkam Ahl ad-Dzimmah, Dar al-‘Ilm li al-Malayin, Beirut, 1983, I/366.

7 Al-Kasani, Badai’ ash-Shana’i, Thab’ah Zakariya ‘Ali Yusuf, t.t., IX/4375.

Ibid.

9 Al-Kasani, Badai’ ash-Shana’i, Dar al-Ma’rifah, Beirut, t.t., X/114.

10 Said Abu Jaib, Qamus al-Fiqh, hlm. 84.

11 Muhammad Khair Haikal, Al-Jihad wa al-Qital fi as-Siyasah as-Syar’iyyah, I/678.

12 An-Nawawi, Rawdhah ath-Thalibin wa ‘Umdah al-Muftin, VIII/369.

Leave a Comment