Seputar Perjanjian Damai Dengan Negara-negara Kafir

Islam adalah sistem yang mengatur kehidupan secara lengkap. Termasuk juga bagaimana tata cara kenegaraan. Dalam berhubungan antar negara, adakalanya terjadi perang dan keadaan damai. Untuk mengikat masa damai membutuhkan kesepakatan atau bisa juga berupa perjanjian damai. Bagaimana pandangan islam mengenai penjanjian dalam dengan negara musuh? Simak penjelasan berikut ini.


Soal:

Dalam kondisi bagaimana Negara Islam (Daulah Khilafah Islamiyah) dapat menerima syarat-syarat perjanjian yang dipaksakan oleh negara-negara kafir?

Jawab:

Negara Islam (Daulah Khilafah Islamiyah) adalah negara yang hidup dan berada di dalam percaturan politik internasional. Ini mengharuskannya untuk bergaul dan berinteraksi dengan negara-negara kafir. Ia tidak bisa mengisolasi diri serta memisahkan pergaulannya dengan dunia internasional. Sebab, sikap semacam ini akan menjauhkannya dari dakwah Islam ke negara-negara lain di seluruh dunia, bahkan dapat menyungkurkannya dalam kebinasaan sehingga eksistensi Daulah Islamiyah akan sirna.

Daulah Islamiyah kadangkala dikepung oleh berbagai macam hambatan, ancaman, dan tekanan; baik yang berasal dari dalam negeri—seperti aksi separatisme dan pemberontakan—ataupun yang berasal dari luar negeri seperti upaya memfokuskan diri pada aksi-aksi militer di  berbagai front pertempuran. Kondisi semacam ini bisa menyeret Daulah Islamiyah ke posisi yang amat sulit. Di satu sisi, negara harus menunjukkan ‘izzah-nya di hadapan negara-negara kafir dengan cara tetap menjalankan kewajiban jihad fi sabilillah melawan mereka. Di sisi lain, negara—termasuk keberadaan kaum Muslim di dalamnya—terancam eksistensinya jika tetap melanjutkan aksi militernya (jihad) terhadap negara-negara kafir tersebut, atau negara harus tunduk terhadap tekanan asing dengan menjalankan syarat-syarat yang amat merugikan dan menghinakan kaum Muslim di hadapan pihak kafir—seperti dipaksa untuk menyerahkan sebagian harta sebagai kompensasi kerugian yang diderita oleh musuh dan sejenisnya.

perjanjian damai dengan negara kafir menurut islam
Ilustrasi oleh urusandunia.com

Dalam kondisi darurat seperti itu dan ada kekhawatiran (yang pasti) bahwa kaum Muslim akan binasa dan hancur, Daulah Islamiyah boleh menerima tawaran perjanjian tersebut (Ibn al-Arabi, Ahkâm al-Qur’ân, III/165; Asy-Syafi‘i, al-Umm, IV/188). Jadi, terdapat indikasi kuat, bahwa kaum Muslim benar-benar terancam musnah dan lenyap yang didasarkan pada perhitungan yang amat akurat, bukan sekadar didasarkan pada teori atau asumsi-asumsi belaka.

Dalilnya adalah sikap Rasulullah saw. pada saat Perang Ahzab. Saat itu, orang-orang musyrik di seluruh penjuru jazirah Arab bersatu di bawah pimpinan kafir Quraisy. Mereka mengepung kota Madinah dengan kekuatan yang belum pernah ada sebelumnya di Jazirah Arab. Kegentingan makin memuncak dengan dibatalkannya secara sepihak perjanjian oleh Bani Quraidhah. Sedemikian hebatnya kekhawatiran kaum Muslim hingga sebagian mereka hendak menarik diri dari pertempuran, sedangkan sebagian lainnya mulai ragu dengan pertolongan Allah. Kondisi ini digambarkan oleh al-Quran:

إِذْ جَاءُوكُمْ مِنْ فَوْقِكُمْ وَمِنْ أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَإِذْ زَاغَتِ اْلأَبْصَارُ وَبَلَغَتِ الْقُلُوبُ الْحَنَاجِرَ وَتَظُنُّونَ بِاللهِ الظُّنُونَا(10)هُنَالِكَ ابْتُلِيَ الْمُؤْمِنُونَ وَزُلْزِلُوا زِلْزَالاً شَدِيدًا (11) وَإِذْ يَقُولُ الْمُنَافِقُونَ وَالَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ مَا وَعَدَنَا اللهُ وَرَسُولُهُ إِلاَّ غُرُورًا(12)وَإِذْ قَالَتْ طَائِفَةٌ مِنْهُمْ يَاأَهْلَ يَثْرِبَ لاَ مُقَامَ لَكُمْ فَارْجِعُوا وَيَسْتَأْذِنُ فَرِيقٌ مِنْهُمُ النَّبِيَّ يَقُولُونَ إِنَّ بُيُوتَنَا عَوْرَةٌ وَمَا هِيَ بِعَوْرَةٍ إِنْ يُرِيدُونَ إِلاَّ فِرَارًا(13) وَلَوْ دُخِلَتْ عَلَيْهِمْ مِنْ أَقْطَارِهَا ثُمَّ سُئِلُوا الْفِتْنَةَ لآتَوْهَا وَمَا تَلَبَّثُوا بِهَا إِلاَّ يَسِيرًا

Ingatlah ketika mereka datang ke hadapan kalian dari atas dan dari bawah kalian;  ketika tidak tetap lagi penglihatan kalian dan hati kalian naik menyesak sampai ke tenggorokan; dan ketika kalian menyangka terhadap Allah dengan bermacam-macam purbasangka. Di situlah diuji orang-orang Mukmin dan diguncangkan dengan guncangan yang dahsyat. Ingatlah ketika orang-orang munafik dan orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya berkata, “Allah dan Rasul-Nya tidak menjanjikan kepada kami melainkan tipudaya.”  Ingatlah pula ketika segolongan di antara mereka berkata, “Hai penduduk Yatsrib (Madinah), tidak ada tempat bagi kalian. Karena itu, kembalilah kalian.” Sebagian dari mereka kemudian meminta izin kepada Nabi (untuk kembali pulang) dengan berkata, “Sesungguhnya rumah-rumah kami terbuka (tidak ada penjaganya).” Rumah-rumah itu sekali-kali tidak terbuka. Mereka tidak lain hanyalah hendak lari. Kalau (Yatsrib) diserang dari segala penjuru, kemudian diminta kepada mereka supaya murtad, niscaya mereka mengerjakannya, dan mereka tidak akan menunda-munda untuk murtad melainkan dalam waktu yang singkat.(QS al-Ahzab [33]: 10-14).

Gambar pasukan kaum muslim naik kuda
Ilustrasi Pasukan Kaum Muslimin

Pada saat itu, Rasulullah saw. mengirimkan utusan guna menjumpai Uyainah bin Hushn dan Harits bin Auf. Keduanya pemimpin bani Gathfan. Mereka diminta untuk tidak turut dalam barisan koalisi pasukan Ahzab, dengan imbalan, mereka memperoleh sepertiga hasil kurma Madinah. Ini adalah manuver politik Rasulullah saw. dalam rangka memecah-belah kekuatan Ahzab. Pemimpin Gathfan pun mengirimkan utusan untuk mendiktekan perjanjian tersebut di hadapan Rasulullah saw. Dalam hal ini, Ibn Hisyam menuturkan:

Pada waktu itulah, Sa’ad bin Mu’adz dan Sa’ad bin ‘Ubadah berdiri dan berkata kepada Rasulullah saw., “Wahai Rasulullah, apakah perkara ini berkaitan dengan sesuatu yang engkau cintai sehingga engkau melakukannya, atau sesuatu yang memang diperintahkan Allah kepadamu hingga kami harus menjalankannya, atau hal ini engkau lakukan untuk (kepentingan) kami?” Beliau menjawab, “Hal ini aku lakukan demi kepentingan kalian. Demi Allah, tidak aku lakukan semua ini kecuali karena aku telah melihat orang-orang Arab telah membidik kalian dalam satu panah (yakni bersatu untuk menghancurkan kalian, pen.), dan mereka menggonggongi kalian (seperti anjing) dari segala penjuru, sementara aku ingin mengurangi bahaya atas diri kalian.” Lalu Sa‘ad bin Mu‘adz berkata, “Wahai Rasulullah, dulu ketika kami dan mereka dalam keadaan syirik kepada Allah, menyembah berhala, bukan menyembah Allah dan kami tidak mengenal-Nya, mereka tidak memperoleh dari kami apa pun kecuali sajian untuk tamu dan (mereka memperolehnya) dengan jual-beli. Apakah setelah Allah memuliakan kami dengan Islam dan memberikan petunjuk kepada kami melalui engkau, kami begitu saja memberikan harta kami? Demi Allah, kami tidak membutuhkan hal itu. Demi Allah, kami tidak akan memberikan kepada mereka kecuali pedang, sampai Allah memberikan keputusan antara kita dan mereka.” Mendengar hal itu, Rasulullah saw. berkata, “Engkau memperoleh apa yang engkau inginkan.” Sa‘ad pun mengambil kertas (perjanjian) dan menghapus apa yang tertulis di dalamnya seraya berkata, “Mereka telah memberatkan kita.” (Ibn Hisyam, Sîrah Ibn Hisyâm, III/233-235).

Dari paparan penggalan sirah Rasul saw. di atas tampak bahwa tatkala kondisi kaum Muslim amat terancam dan kekhawatiran akan binasanya kaum Muslim sudah di depan mata, beliau cenderung untuk menerima perjanjian yang menjadi tuntutan dalam kondisi darurat. Ini menunjukkan kebolehan perjanjian semacam itu. Itu pun tetap dengan membatasi tenggat waktu berlakunya perjanjian. Artinya, perjanjian yang bersifat langgeng/abadi adalah diharamkan.

Hanya saja, syarat-syarat perjanjian tetap tidak boleh mengandung syarat-syarat yang rusak. Rasulullah saw. bersabda:

وَالْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا

Kaum Muslim itu terikat dengan  syarat-syarat mereka, kecuali syarat-syarat yang mengharamkan apa yang dihalalkan Allah dan menghalalkan apa yang diharamkan-Nya.(HR at-Tirmidzi).

Syarat-syarat yang rusak itu antara lain: memaksakan pergantian penguasa sesuai dengan yang diinginkan mereka; menerapkan undang-undang dan syariat kufur; membolehkan syiar-syiar orang kafir di negeri-negeri Islam; melarang jihad fi sabilillah atau mengembangkan kekuatan militer yang bisa memerangi musuh (seperti Jepang yang dikalahkan AS pada PD-II, yang kemudian dipaksa untuk menerima syarat-syarat tidak boleh membangun kekuatan militer yang bersifat ofensif keluar negeri); dan sejenisnya.

Jika kaum Muslim dipaksa untuk menerima syarat-syarat yang membahayakan mereka atau menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal, mereka wajib membatalkan perjanjian yang mereka buat dengan orang-orang kafir. Apalagi jika kaum Muslim mampu melakukannya serta memiliki ‘izzah dan keberanian, sebagaimana yang ditunjukkan oleh Sa‘ad bin Mu‘adz. Wallâh a‘lam. [AF]


Terimakasih sudah membaca artikel yang berjudul Seputar Perjanjian Damai Dengan Negara-negara Kafir. Kami dari anaksholeh.net telah menambahkan gambar dan link agar lebih menarik. Jika artikel ini dirasa bermanfaat, silahkan share melalui sosial media. Jazakumullah khair.

Leave a Comment