Seputar Vonis Pengadilan dan Bir al-walidayn

Pertanyaan:

بسم الله الرحمن الرحيم

Assalamu ‘alaikum wa rahmatulla wa barakatuhu.

Di buku ad-Daulah al-Islâmiyah halaman 140 dinyatakan: “Setiap orang yang menyandang kewarganegaraan daulah menikmati hak-hak yang ditetapkan oleh syara’ untuknya, baik dia seorang muslim maupun non muslim. Dan setiap orang yang tidak menyandang kewarganegaraan daulah, dia dihalangi dari hak-hak ini meskipun dia seorang muslim. Seandainya seorang laki-laki muslim memiliki ibu nashrani yang menyandang kewarganegaraan islamiyah, dan dia punya bapak seorang muslim yang tidak menyandang kewarganegaraan islamiyah, maka ibunya berhak mendapat nafkah darinya sementara bapaknya tidak berhak. Seandainya ibunya menuntut nafkah darinya, maka qadhi memutuskan nafkah untuk ibunya itu, sebab dia menyandang kewarganegaraan. Sedangkan andai bapaknya menuntut nafkah, maka qadhi tidak akan memutuskan nafkah untuknya dan tuntutannya ditolak”.

Pertanyaannya di sini adalah: tanpa memperhatikan keberadaan seseorang itu muslim atau non muslim, tanpa memperhatikan keberadaannya menyandang kewarganegaraan daulah islamiyah atau tidak, bukankah yang wajib seseorang itu berbakti kepada kedua orang tuanya? Dan direndahkan suara kepada keduanya dengan penuh kesayangan … dan jika muslim tersebut melakukan penyimpangan-penyimpangan dan melanggar hak individu-individu di luar kekuasaan daulah sementara mereka tidak menyandang kewarganegaraan daulah, dan muslim itu lari di dalam daulah islamiyah, kemudian mereka datang mengadukannya, apakah qadhi menolak pengaduan mereka dengan alasan bahwa mereka tidak menyandang kewarganegaraan? Kami mohon penjelasan dan rincian hal itu, semoga Allah memberi balasan Anda dengan segenap kebaikan, dan assalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu.

Jawab:

Wa ‘alaikum as-salam wa rahmatullah wa barakatuhu.

Ada dua perkara yang terpisah satu sama lain: vonis pengadilan dan berbakti kepada kedua orang tua.

Adapun yang pertama, maka orang yang hidup di Dar al-Harb dan menyandang kewarganegaraan Dar al-Harb, maka tidak diterima pengaduannya untuk mendapat nafkah dari kerabatnya di Dar al-islam. Hal itu karena perbedaan Dar mengalihkan hak-hak finansial dari wajib. Hak-hak finansial tidak ada untuk mereka yang ada di Dar al-Harb. Sebab Rasul SAW bersabda dalam hadits yang dikeluarkan oleh Muslim dari Sulaiman bin Buraidah dari bapaknya, ia berkata:

«كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم إِذَا أَمَّرَ أَمِيرًا عَلَى جَيْشٍ أَوْ سَرِيَّةٍ أَوْصَاهُ فِي خَاصَّتِهِ بِتَقْوَى اللَّهِ وَمَنْ مَعَهُ مِنْ الْمُسْلِمِينَ خَيْراً، ثُمَّ قَالَ… ثُمَّ ادْعُهُمْ إِلَى التَّحَوُّلِ مِنْ دَارِهِمْ إِلَى دَارِ الْمُهَاجِرِينَ وَأَخْبِرْهُمْ أَنَّهُمْ إِنْ فَعَلُوا ذَلِكَ فَلَهُمْ مَا لِلْمُهَاجِرِينَ وَعَلَيْهِمْ مَا عَلَى الْمُهَاجِرِينَ، فَإِنْ أَبَوْا أَنْ يَتَحَوَّلُوا مِنْهَا فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّهُمْ يَكُونُونَ كَأَعْرَابِ الْمُسْلِمِينَ يَجْرِي عَلَيْهِمْ حُكْمُ اللهِ الَّذِي يَجْرِي عَلَى الْمُسْلِمِينَ وَلا يَكُونُ لَهُمْ فِي الْغَنِيمَةِ وَالْفَيْءِ شَيْءٌ إِلاَّ أَنْ يُجَاهِدُوا مَعَ الْمُسْلِمِينَ…»

Rasulullah SAW jika mengangkat seorang amir pasukan atau detasemen, beliau mewasiatkan takwa kepada Allah kepadanya pada khususnya dan kebaikan atas orang-orang dari kaum Muslimin yang bersamanya secara umum, kemudian beliau bersabda: … kemudian serulah mereka untuk berpindah dari Dar mereka ke Dar al-muhajirin dan beritahu mereka jika mereka melakukan hal itu, maka mereka memiliki hak dan kewajiban seperti muhajirin. Dan jika mereka menolak untuk berpindah darinya, maka beritahu mereka bahwa mereka menjadi seperti orang-orang arab kaum Muslimin yang terhadap mereka berlaku hukum Allah yang berlaku terhadap kaum Muslimin tetapi tidak ada untuk mereka ghanimah dan fay`i sedikit pun kecuali mereka berjihad bersama kaum Muslimin …

Sabda Rasulullah saw di dalam hadits tersebut:

«وَلا يَكُونُ لَهُمْ فِي الْغَنِيمَةِ وَالْفَيْءِ شَيْءٌ»

Dan tidak ada untuk mereka ghanimah dan fay`i sedikitpun

Artinya, keengganan mereka berpindah menggugurkan haknya dalam fay`i dan ghanimah. Dan terhadap fay`i danghanimah itu diqiyaskan semua harta, yakni hak-hak finansial yang berkaitan dengan harta menjadi gugur. Jadi seorang Muslim yang menolak berpindah ke Dar al-muhajirin, pada kondisi Dar al-muhajirin itu ada, sesuai hukum-hukum syara’ untuk hijrah, lalu ia tetap menyandang kewarganegaraan negara kafir, maka Muslim itu berkaitan dengan hukum harta, adalah seperti non muslim dari sisi terhalangi dari hak-hak di dalamnya, yakni hak-hak finansial. Jadi dia tidak memiliki hak dan kewajiban yang menjadi hak kaum Muslimin. Ini berarti, hukum-hukum finansial tidak berlaku terhadapnya, sebab ia tidak berpindah ke Dar al-muhajirin… Karena itu, tuntutan orang tua yang ada di Dar al-Harb terhadap anaknya di Dar al-Islam, jika tuntutan itu tentang hak finansial seperti nafkah, maka tuntutan ini tidak diterima, sebab perbedaan Dar menghalangi wajibnya hak-hak finansial. Ini tentang masalah pertama yakni tentang vonis pengadilan tentang hak-hak finansial.

Sedangkan masalah kedua, yaitu birr al-wâlidayn, maka itu masalah yang lain. Perbedaan Dar tidak menghalangi birr al-wâlidayn dan menjalin hubungan dengan mereka. Dalilnya adalah firman Allah SWT:

وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا

Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik (TQS Luqman [31]: 15)

Dan apa yang telah dikeluarkan oleh al-Bukhari dari Asma’ binti Abu Bakar ra, ia berkata:

قَدِمَتْ عَلَيَّ أُمِّي وَهِيَ مُشْرِكَةٌ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَاسْتَفْتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قُلْتُ: وَهِيَ رَاغِبَةٌ، أَفَأَصِلُ أُمِّي؟ قَالَ: «نَعَمْ صِلِي أُمَّكِ»

Ibuku datang dan dia masih musyrik pada masa Rasulullah saw, maka aku meminta fatwa Rasulullah saw dan ibuku ingin menemuiku, apakah aku menjalin hubungan kepada ibuku? Rasulullah saw bersabda: “benar jalin hubungan kepada ibumu”.

Adapun pertanyaan Anda tentang pelanggaran dan jinayat serta semisalnya, maka itu memiliki hukum-hukum lain. Perbedaan Dar tidak menghalangi hal itu. Akan tetapi diputuskan di dalamnya sesuai hukum-hukum syara’ yang khusus (spesifik) untuk masalah itu dengan tetap memperhatikan kondisi (negaranya) al-harb fi’lan (de facto) atau hukman (de jure) atau negara mu’ahad … dan sebagainya.

Misalnya, ayat:

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ أَنْ يَقْتُلَ مُؤْمِنًا إِلَّا خَطَأً وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ إِلَّا أَنْ يَصَّدَّقُوا فَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ عَدُوٍّ لَكُمْ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِيثَاقٌ فَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ وَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ تَوْبَةً مِنَ اللَّهِ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا

Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum yang memusuhimu, padahal ia mukmin, maka (hendaklah si pembunuh) memerdekakan hamba sahaya yang mukmin. Dan jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang mukmin. Barang siapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari pada Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (TQS an-Nisa’ [4]: 92)

Jadi ayat tersebut memandang bahwa seorang muslim, seandainya ia membunuh seorang muslim lainnya secara tidak sengaja di Dar al-Harb fi’lan, yakni:

مِنْ قَوْمٍ عَدُوٍّ لَكُمْ

dari kaum yang memusuhimu

maka hukumnya:

فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ

maka hendaklah si pembunuh membebaskan seorang hamba sahaya yang mukmin.

Seandainya ia membunuh seorang muslim di Dar al-Harb mu’ahadah yakni:

مِنْ قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِيثَاقٌ

dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu

maka hukumnya:

فَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ وَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ تَوْبَةً مِنَ اللَّهِ

maka (hendaklah si pembunuh) membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang mukmin. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari pada Allah

Jadi hak-hak finansial itu berbeda dari masalah-masalah lainnya. Bahkan hak-hak finansial itu ada kalanya berbeda di Dar yang sama. Misalnya, seorang muslim tidak mewarisi orang kafir dan seorang kafir tidak mewarisi seorang muslim, meskipun orang kafir dan orang muslim itu ada di Dar al-Islam. Rasulullah SAW bersabda:

«وَلاَ يَرِثُ الْقَاتِلُ شَيْئاً»

Pembunuh tidak mewarisi sedikitpun -dari si terbunuh- (HR Abu Dawud)

Rasulullah SAW juga bersabda:

«لاَ يَرِثُ الْكَافِرُ الْمُسْلِمَ، وَلاَ الْمُسْلِمُ الْكَافِرَ»

Orang kafir tidak mewarisi orang muslim dan orang muslim tidak mewarisi orang kafir (HR Ahmad)

Ringkasnya, seorang muslim yang hidup di Dar al-Harb dan menyandang kewarganegaraan Dar al-Harb, dan dia menolak berpindah ke Dar al-Islam dalam kondisi Dar al-Islam itu ada, maka ditolak tuntutannya tentang hak-hak finansial terhadap anaknya yang hidup di Dar al-Islam. Ini berbeda dengan birr al-wâlidayn dan menjalin hubungan dengan keduanya. Jadi seorang muslim harus berbakti kepada kedua orang tuanya yang kafir dan berbuat baik kepada keduanya, kecuali jika keduanya memaksanya untuk mempersekutukan Allah SWT dan yang berkaitan dengan hal itu seperti orang tua itu berperang di pasukan muharibin fi’lan maka itu memiliki hukum syara’ yang lain …

Saudaramu

Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah

17 Sya’ban 1434

26 Juni 2013

Sumber: Rangkaian Jawaban asy-Syaikh al-‘Alim ‘Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah Amir Hizbut Tahrir Atas Berbagai Pertanyaan di Akun Facebook Beliau)