Definisi Miskin Dalam Islam, Serta Cara Negara Mengatasinya

Islam bukan hanya agama yang mengatur ritual ibadah saja. Namun juga mencakup aspek kehidupan yang lain seperti ekonomi, sistem sanksi, sistem pendidikan hingga pemerintahan. Dalam konteks sistem ekonomi dan kebijakan negara mensejahterakan rakyat, kejelasan pengertian atau definisi miskin sangat penting untuk diketahui dengan jelas. Tentu untuk menentukan kebijakan pemerintah terhadap orang miskin.

Pada artikel ini, selain membahas definisi miskin atau pengertian orang miskin menurut Islam. Juga akan dibahas secara global bagaimana seharusnya sikap penguasa yang menjalankan aturan Islam dalam mengatasi dan menangani kemiskinan. Simak artikel penjelasan di bawah ini.


Soal:

Siapakah sebenarnya orang yang layak disebut miskin dalam pandangan Islam?

 Jawab:

Miskin (poor), dalam sistem Kapitalisme maupun Sosialisme, ukurannya berbeda-beda. Bank Dunia, misalnya, mematok ukuran kemiskinan dengan USD 1 perhari perkepala; sama dengan sebulan minimal USD 30 perkepala, atau Rp 300 ribu (dengan kurs USD 1=Rp 10.000). Dengan 4.9 anggota, berarti pendapatan minimal bagi keluarga adalah sebesar Rp 1.470.000 untuk di perkotaan, sedangkan di pedesaan dengan 4.7 anggota besarnya adalah 1.410.000. Ini untuk ukuran Bank Dunia.

Gambar ilustrasi jual beli kredit, sumber unsplash @kharp
ilustrasi kebutuhan uang, sumber unsplash @kharp

Di Indonesia, UMR (upah minimum regional) juga berbeda-beda, antara satu kota dengan kota lain. Ada yang mematok angka Rp 750.000 perbulan. Ada juga yang mematok angka Rp 650.000 perbulan. Di Jakarta, keluarga yang dikategorikan miskin, sebagaimana dalam kasus subsidi langsung, umumnya berpendapatan Rp 300.000 ke bawah. Ini artinya, rata-rata pendapatan keluarga tersebut perhari hanya Rp 10.000. Jika angka Rp 300.000 tersebut dibagi 4.9 anggota, rata-rata pendapatan mereka perkepala setiap bulan hanya Rp 61.224, yang berarti perharinya hanya Rp 2.040. Untuk makan sekali saja, angka ini jelas jauh dari cukup, bahkan sangat kurang.

Lalu, bagaimana Islam memandang kemiskinan dan menetapkan angka kemiskinan? Apa ukuran miskin menurut Islam? Bagaimana pula cara mengetahuinya?

Dalam pandangan Islam, kemiskian (al-miskin) atau kefakiran (al-faqr) indikasinya sama, jika kebutuhan dasar setiap individu perindividu di dalam masyarakat (sandang, papan dan pangan) tidak terpenuhi; termasuk kebutuhan akan pendidikan, kesehatan dan keamanan; sekalipun yang terakhir ini merupakan tanggung jawab negara secara langsung.

Kemiskinan (al-faqr), menurut bahasa, adalah ihtiyâj (membutuhkan). Faqara wa iftaqara adalah lawan dari istaghna (tidak membutuhkan, atau kaya); iftaqara ilaihi maknanya adalah ihtâja (membutuhkan); faqîr (orang yang membutuhkan); bentuk jamaknya fuqara’.  Faqîr menurut pengertian syariah adalah orang yang membutuhkan dan keadaannya lemah, yang tidak bisa dimintai apa-apa. Allah Swt. berfirman:

]رَبِّ إِنِّي لِمَا أَنْزَلْتَ إِلَيَّ مِنْ خَيْرٍ فَقِيرٌ[

“Ya Rabbi, seungguhnya aku sangat membutuhkan suatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku.(QS al-Qashash [28]: 24).

Maksudnya, sesungguhnya aku faqîr, atau membutuhkan kebaikan apapun yang Engkau turunkan kepadaku, baik sedikit maupun banyak. Allah Swt. juga berfirman:

]وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ[

(Sebagian lagi) berikanlah kepada orang-orang yang sengsara lagi fakir. (QS al-Hajj [22]: 28).

Maksud kata bais di dalam ayat tersebut adalah orang yang tertimpa kesengsaraan, atau kemelaratan. Jadi, faqîr adalah orang yang menjadi lemah oleh kesengsaraan. Ayat-ayat dan beberapa pernyataan sahabat dan tabiin tersebut menunjukkan, bahwa fakir adalah ihtiyâj (membutuhkan).

Definisi Miskin Dalam Islam, Serta Cara Negara Mengatasinya
Ilustrasi artikel definisi miskin, sumber unsplash

Islam memandang masalah kemiskinan ini dengan standar yang sama, di negara manapun, dan kapanpun. Karena itu, menurut pandangan Islam, kemiskinan adalah kondisi tidak terpenuhinya kebutuhan primer secara menyeluruh. Syarih juga telah menetapkan kebutuhan primer tersebut, yaitu sandang, papan, dan pangan. Allah Swt. berfirman:

]وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ[

Kewajiban ayah memberikan makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf. (QS al-Baqarah [2]: 233).

]أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ[

Tempatlah mereka (para istri) di mana kalian bertempat tinggal, sesuai dengan kemampuan kalian. (QS ath-Thalaq [65]: 6).

Ibnu Majah meriwayatkan hadis dari Abi Ahwash yang mengatakan, bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:

«وَلَهُنَّ عَلَيْكُمْ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ»

Ingatlah, bahwa hak mereka atas kalian adalah agar kalian berbuat baik kepada mereka dalam (memberikan) pakaian dan makanan. (HR Ibn Majah).

Ini menunjukkan bahwa kebutuhan primer—ketika tidak terpenuhi dianggap miskin—adalah sandang, papan, dan pangan. Hal-hal lain selain sandang, papan dan pangan dianggap sebagai kebutuhan skunder; orang yang tidak bisa memenuhinya (setelah kebutuhan-kebutuhan primernya sudah terpenuhi) tetap tidak bisa dianggap sebagai orang miskin.

Kemiskinan adalah sumber kemunduran. Islam bahkan telah menjadikan kemiskinan itu sebagai ancaman dari setan.  Allah Swt. berfirman:

]الشَّيْطَانُ يَعِدُكُمُ الْفَقْرَ[

Setan menjanjikan  (menakut-nakuti) kalian dengan kemiskinan. (QS al-Baqarah [2]: 268).

Islam juga telah menganggap kemiskinan itu sebagai kelemahan sekaligus menganjurkan agar kita mengasihi orang-orang miskin. (Lihat kembali: QS al-Hajj [22]: 28).

Islam telah menjadikan terpenuhinya kebutuhan primer serta mengusahakannya untuk orang yang tidak bisa memperolehnya adalah fardlu. Jika kebutuhan primer tersebut bisa dipenuhi sendiri oleh seseorang, maka pemenuhan tersebut menjadi kewajibannya. Namun, jika orang tersebut tidak bisa memenuhinya sendiri, karena tidak mempunyai harta yang cukup atau karena dia tidak bisa memperoleh harta yang cukup, maka syariah telah menjadikan orang tersebut wajib ditolong oleh orang lain, sehingga dia bisa memenuhi kebutuhan primernya.

Dalam hal ini, Islam bahkan telah merinci tatacara membantu orang seperti ini. Pertama: Islam mewajibkannya kepada kerabat terdekat yang memiliki hubungan darah. (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 233).

Ilustrasi salah satu sudut kemiskinan di amerika serikat
Ilustrasi kemiskinan, sumber unsplash

Kedua: Apabila orang tersebut tidak mempunyai sanak-kerabat yang wajib menanggung nafkahnya, maka kewajiban memberikan nafkah kepada orang tersebut dipindahkan kepada Baitul Mal, pada bagian zakat. Allah Swt. berfirman:

]إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ[

Zakat itu hanya diperuntukkan bagi orang-orang fakir dan miskin. (QS at-Taubah [9]: 60)

Ketiga: Apabila bagian zakat dari Baitul Mal tersebut tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan para fakir miskin, maka negara wajib memberikan nafkah kepada mereka dari bagian lain, dari Baitul Mal.

Keempat: Jika di dalam Baitul Mal tidak terdapat harta sama sekali, maka negara harus mewajibkan pajak atas harta orang-orang kaya, dan mengusahan pajak tersebut untuk dinafkahkan kepada para fakir miskin. Sebab, dalam keadaan demikian, kewajiban tersebut berlaku untuk seluruh kaum Muslim. Dalam sebuah hadis qudsi, sebagaimana dituiturkan Anas ra., Nabi saw. pernah bersabda:

“Tidaklah beriman kepada-Ku siapa saja yang tidur kekenyangan, sedangkan tetangganya kelaparan, sementara dia mengetahuinya.” (HR al-Bazzar).

Allah Swt. juga berfirman:

]وَفِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ[

Di dalam harta mereka terdapat hak bagi orang miskin yang meminta-minta, yang tidak mendapat bagian. (QS adz-Dzariyat [51]: 19)

Rasulullah saw. juga pernah  menahan harta dengan hanya memberikan bagian kepada orang-orang Muhajirin yang fakir, tidak kepada kaum Anshar. Semua itu membuktikan, bahwa menaggung para fakir miskin merupakan kewajiban bagi seluruh kaum Muslim. Selama hal itu menjadi kewajiban seluruh kaum Muslim, maka Khalifah wajib—karena dia wajib untuk melayani urusan umat—mendapatkan harta tersebut dari kaum Muslim agar dia bisa melaksanakan apa yang menjadi kewajiban mereka.

Ringkasnya, orang fakir yang wajib diberi nafkah adalah karena kebutuhan-kebutuhan primernya tidak terpenuhi, yaitu orang yang membutuhkan sandang, papan dan pangan. Sebaliknya, orang kaya, yang wajib memberikan nafkah serta berkewajiban sebagaimana kewajiban seluruh kaum Muslim terkait dengan tanggungjawab harta, adalah orang yang memiliki kelebihan dari sisa memenuhi kebutuhannya dengan cara yang makruf, yang bukan hanya kebutuhan primernya saja. Wallâhu a’lam bi ash-shawâb.[]


Terimakasih sudah menyimak artikel yang yang berjudul asli “Siapa yang Layak Disebut Miskin?” sampai akhir. Kami dari anaksholeh.net menambahkan gambar, link, serta perubahan pada judul artikel agar lebih menarik. Jika dirasa bermanfaat untuk umat, silahkan share diberbagai platform sosial media yang ada. Jazakumullah khair

Leave a Comment