Zakat Pertanian Diambil dari Neto atau Bruto?

Tanya :

Ustadz, apakah zakat pertanian itu dikeluarkan secara neto, yaitu dipotong dulu dengan biaya-biaya produksi (misalnya biaya pembelian benih, insektisida, pupuk, upah buruh tani, dsb), ataukah dikeluarkan secara bruto, yaitu tanpa dipotong dengan biaya produksi?

Aris, Bogor

Jawab :

Syeikh Wahbah Zuhaili dalam kitabnya Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu mengatakan terdapat tiga pendapat ulama kontemporer dalam masalah ini, yaitu apakah zakat pertanian dikeluarkan setelah dipotong biaya produksi atau tidak dipotong dengan biaya produksi. Ketiga pendapat tersebut adalah sbb ; pertama, zakat pertanian dikeluarkan setelah dipotong dengan semua biaya produksi (atau zakat dikeluarkan secara neto).Kedua, zakat pertanian dikeluarkan tanpa dipotong biaya produksi sama sekali (atau zakat dikeluarkan secara bruto). Ketiga, zakat pertanian dipotong dulu sepertiga dari hasil panen (tsuluts min al mahshuul), kemudian barulah dikenakan zakat pada sisanya (yaitu pada dua pertiga hasil panen). (Wahbah Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, 3/248).

Dari ketiga pendapat tersebut, pendapat yang rajih (paling kuat) adalah pendapat ketiga. Karena didukung dengan dalil syar’i yang shahih, yang sekaligus juga merupakan pendapat mazhab yang empat (al madzahib al arba’ah) sebagaimana disebutkan oleh Imam Ibnu Hazm dalam kitabnya Al Muhalla (Juz V hlm. 258). (Wahbah Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, 3/248).

Dalil pendapat ketiga tersebut adalah hadits shahih dari Sahal bin Abi Hatsmah ra, dia berkata bahwa Rasulullah SAW telah bersabda, ”Jika kamu telah menaksir [buah yang akan dikeluarkan zakatnya] maka ambillah dan tinggalkan sepertiga. Jika kamu tidak meninggalkan sepertiganya, tinggalkan seperempatnya.” (HR Tirmidzi, Sunan At TirmidziBab Ma Ja`a fi Al Kharsh, Juz I no. 638).

Terkait dengan hadits ini, Imam Abdul Qadim Zallum berkata, “Wajib atas petugas penaksir, agar meninggalkan sepertiga atau seperempat [dari buah yang akan dizakati] tanpa menaksirnya, sebagai bentuk kelapangan bagi para petani buah, karena mereka juga membutuhkannya untuk dimakan sebagiannya, atau untuk diberikan kepada para tamunya, tetangganya, keluarganya,…” (Abdul Qadim Zallum, Al Amwal fi Daulah Al Khilafah, hlm. 150).

Syarah (penjelasan) yang semakna dengan ini juga terdapat dalam berbagai kitab syarah Sunan At Tirmidzi. (Lihat Abul ‘Ali Al Mubarakfuri, Tuhfatul Ahwadzi bisyarhi Jami’ At Tirmidzi, 3/303, Muhammad Anwar Syah Al Kasymiri, Al ‘Urf As Syadzi Syarah Sunan At Tirmidzi, 2/190).

Walhasil, pendapat yang sahih adalah zakat pertanian itu tidak dikeluarkan secara neto, juga tidak dikeluarkan secara bruto, melainkan dikeluarkan setelah dipotong dulu sepertiga atau seperempat dari hasil panen (tsuluts min al mahshuul). Barulah dikenakan zakat pada sisanya (yaitu pada dua pertiga hasil panen) jika telah mencapai nishab, yang besarnya 10 persen jika diairi dengan air hujan secara alami, atau 5 persen jika diairi dengan teknologi yang membutuhkan biaya. (Wahbah Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, 3/248).

Sebagai contoh, seorang petani kurma (at tamr) yang mengairi kebunnya secara alami berhasil memanen 3 ton kurma. Maka hasil 3 ton kurma itu dipotong dulu sepertiganya (yaitu 1 ton kurma), dan tersisa 2 ton kurma yang sudah melebihi nishab (yaitu takaran 5 wasaq atau kurang lebih 652,8 kg). Maka zakatnya adalah sebesar 10 persen dari 2 ton kurma ini, atau 200 kg kurma.

Zakat pertanian ini boleh dikeluarkan dalam bentuk barang yang dizakati, misalnya dalam bentuk kurma jika yang dizakati adalah kurma. Namun boleh juga dikeluarkan dalam bentuk uang atau barang selain uang yang senilai (qiimah). Dalilnya, dalam kitabnya Al Amwal Imam Abu Ubaid menyebutkan Muadz bin Jabal RA pernah diutus Nabi SAW ke Yaman dan mengambil zakat gandum dan jewawut (as sya’ir) dalam bentuk baju (at tsiyab). (Abdul Qadim Zallum, Al Amwal fi Daulah Al Khilafah, hlm. 152-153). Wallahu a’lam.