Hukum Pemilukada dalam Syariah Islam Yang Penting Diperhatikan

Aktivitas pilkada atau pemilukada dalam kehidupan sekarang ini sering kita dengar bahkan terjadi disekitar kita. Hal tersebut merupakan salah satu cara dari sistem demokrasi kapitalisme untuk menentukan pemimpin suatu daerah. Sebagai agama yang mengatur aspek kehidupan manusia. Seperti apa hukum pilkada dalam tinjauan syariah Islam. Sikap kita sebaiknya seperti apa? Silahkan simak penjelasan soal hukum pilkada dalam islam berikut ini.


Tanya :

Ustadz, bolehkah kita ikut memilih dalam Pemilukada, seperti Pilgub (pemilihan gubernur) atau Pilbup (pemilihan bupati) dalam sistem demokrasi sekarang ini? (Hilman, Kolaka).

Jawab :

Pemilukada (pemilihan umum  kepala daerah) adalah pemilihan kepala daerah yang dilakukan secara langsung oleh penduduk daerah administratif setempat (propinsi/kabupaten/kota) yang memenuhi syarat.

Dalam sejarahnya, sebelum tahun 2005 kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih oleh DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah). Sejak tahun 2005, kepala daerah tidak dipilih lagi oleh DPRD, melainkan dipilih secara langsung oleh penduduk daerah administratif setempat berdasarkan UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pemilihan ini dinamakan Pemilihan Kepala Daerah (pilkada).

Sejak tahun 2007 pilkada dimasukkan dalam rezim pemilu dengan diberlakukannya UU No 22 Tahun 2007, sehingga secara resmi dinamakan Pemilukada (pemilihan umum  kepala daerah). Pada tahun 2011 lahir UU No 15 Tahun 2011 tentang penyelenggaran pemilu, dan dalam UU ini istilah yang digunakan adalah Pemilihan Gubernur (pilgub), Pemilihan Bupati (pilbup), dan Pemilihan Walikota (pilwali). (id.wikipedia.org)

Hukum Pemilukada dalam Syariah Islam Yang Penting Diperhatikan
Tempat pemungutan suara. Sumber unsplash

Menurut kami, menyelenggarakan dan memilih dalam pemilukada hukumnya haram dan tidak sah (batil) menurut syara’. Dalil keharamannya ada dua;

Pertama, karena pemilukada menyalahi tatacara pengisian jabatan kepala daerah dalam Islam. Dalam Islam, kepala daerah tidak dipilih oleh penduduk daerah administratif setempat, melainkan diangkat oleh kepala negara (Imam/Khalifah). Inilah yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW dan diamalkan oleh para khalifah dari kalangan shahabat Nabi sesudahnya. Rasulullah SAW sebagai kepala negara pernah mengangkat Muadz bin Jabal menjadi gubernur di Janad (di Yaman), mengangkat Ziyad bin Labid menjadi gubernur di Hadhramaut, mengangkat Abu Musa Al Asy’ari menjadi gubernur Zabid dan ‘Adn, dan sebagainya. (Muqaddimah Ad Dustur, 1/189-191; Imam Al Mawardi, Al Ahkam Al Sulthaniyah, hlm. 83; Imam Qalqasyandi, Ma’atsirul Inafah fi Ma’alim Al Khilafah, hlm. 25; Imam Al Kattani, At Taratib Al Idariyah, 1/105 & 1/211; Jamal Marakbi, Al Khilafah Al Islamiyah Baina Nuzhum Al Hukm Al Mu’ashirah, hlm. 431, Abu Bakar Jabir Al Jaziri, Ad Daulah Al Islamiyah, hlm. 112 & 155; Shalah As Shawi, Al Wajiz fi Fiqh Al Khilafah, hlm. 20).

Dengan demikian, pemilukada nyata-nyata telah bertentangan dengan Islam yang menetapkan bahwa kepala daerah itu diangkat oleh kepala negara (Imam/Khalifah), bukan dipilih secara langsung oleh penduduk daerah administratif setempat. Maka pemilukada hukumnya haram, berdasarkan dalil-dalil umum yang mengharamkan segala tasharrufat (tindakan hukum) dan akad yang tidak dibawa oleh Syariah Islam. (Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakhshiyah Al Islamiyah, 3/233).

Dalil-dalil umum tersebut antara lain firman Allah SWT :

وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا

Dan apa saja yang diberikan Rasul kepadamu maka ambillah dia, dan apa saja yang dia larang bagimu, maka tinggalkanlah dia.” (QS Al Hasyr : 7).

Juga firman Allah SWT:

يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ

Mereka hendak berhukum kepada thaghut padahal mereka telah diperintahkan untuk mengingkari thaghut itu.” (QS An Nisaa` : 60).

Juga sabda Rasulullah SAW :

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

Barangsiapa melakukan suatu perbuatan yang tidak ada tuntunan kami atasnya, maka perbuatan itu tertolak.” (HR Muslim).

Kedua, karena pemilukada akan menjadi sarana (wasilah) untuk memilih penguasa yang akan menjalankan hukum yang bukan Syariah Islam. Sudah dimaklumi, bahwa kewajiban seorang penguasa (al hukkam) dalam Islam adalah menerapkan Syariah Islam (QS Al Maa`idah : 48 & 49). Sebaliknya haram hukumnya penguasa menjalankan hukum yang bukan Syariah Islam (QS Al Maa`idah : 44, 45, 47). Karena itu, pemilukada tak diragukan lagi haram hukumnya, karena penguasa yang terpilih dalam sistem demokrasi sekarang jelas akan menjalankan hukum yang bukan Syariah Islam. Wallahu a’lam.

Kendari, 15 September 2012

[Muhammad Shiddiq Al Jawi]


Terimakasih telah membaca artikel dengan judul asli “Hukum Pemilukada dalam Syariah Islam” sampai akhir. Semoga bermanfaat. Kami dari anaksholeh.net telah menambahkan gambar, link, serta perubahan pada judul artikel agar lebih menarik. Tak lupa, silahkan share melalui sosial media yang ada agar lebih banyak orang yang mengetahuinya. Sebagai amal ibadah kecil kita dalam dakwah ini. Jazakumullah khair. 

Leave a Comment