Seputar Hukum Susuan (Ar Radha’ah)

Tanya :

Ustadz, bolehkah bayi yang baru lahir disusui oleh perempuan lain, sebab ASI dari ibu si bayi belum keluar. Apakah bayi tersebut otomatis menjadi anak susuan dari perempuan yang menyusuinya? (Ummu Aida, Jember).

Jawab :

Islam membolehkan susuan (ar radha’ah), yaitu menyusunya seorang bayi kepada perempuan yang bukan ibu kandungnya, karena telah dibolehkan Al Qur`an dan As Sunnah. Kadang-kadang memang terdapat hajat untuk itu, misalnya meninggalnya ibu kandung si bayi, atau ketidakmampuan ibu kandung untuk menyusui karena berbagai sebab, seperti kesibukan kerja atau air susunya tak keluar, atau karena sebab lainnya. (Sa’duddin bin Muhammad Al Kibbi, Ahkam Ar Radha’ fi Al Islam, hlm. 2; HSA Alhamdani, Risalah Nikah, hlm. 69).

Yang wajib diperhatikan adalah akibat susuan itu secara syar’i, yaitu timbulnya hubungan mahram antara bayi yang disusui dengan perempuan yang menyusui. Sebab susuan merupakan salah satu dari 3 (tiga) sebab timbulnya kemahraman yang mengharamkan pernikahan, yaitu ; pertama, adanya hubungan nasab (pertalian darah, blood relationship), seperti ibu, saudara perempuan, dan bibi (saudara perempuan ayah/ibu). Kedua, adanya hubungan perkawinan (mushaharah, relation by marriage), seperti isteri dari anak laki-laki (menantu perempuan) dan ibu dari isteri (ibu mertua). Ketiga, karena adanya hubungan susuan (ar radha’ah), seperti ibu yang menyusui, dan sebagainya. (Sa’duddin bin Muhammad Al Kibbi, Ahkam Ar Radha’ fi Al Islam, hlm. 3).

Jika seorang perempuan menyusui seorang bayi, maka bayi itu menjadi anaknya, yaitu menjadi mahramnya, jika memenuhi 2 (dua) syarat; pertama, penyusuan dilakukan ketika usia bayi di bawah dua tahun (dihitung dengan kalender qamariyah). Maka penyusuan kepada anak di atas dua tahun, tak mengakibatkan kemahraman. Kedua, perempuan itu telah menyusui sebanyak 5 (lima) kali susuan pada waktu yang terpisah-pisah. Maka penyusuan yang kurang dari 5 (lima) kali susuan, tak menimbulkan kemahraman. Inilah pendapat mazhab Syafi’i yang kami anggap paling kuat (rajih). (Taqiyuddin Al Husaini, Kifayatul Akhyar, 2/137; Sa’duddin bin Muhammad Al Kibbi, Ahkam Ar Radha’ fi Al Islam, hlm. 6 & 8).

Syarat pertama, dalilnya firman Allah SWT (artinya),”Para ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan.” (QS Al Baqarah [2] : 233). Juga berdasarkan sabda Rasulullah SAW,”Tidak ada penyusuan kecuali pada masa dua tahun.” (HR Daruquthni, 4/174; Baihaqi). (Taqiyuddin Al Husaini, Kifayatul Akhyar, 2/138; Asy Syaukani, Nailul Authar, hlm. 1390, hadits no 2986).

Syarat kedua, dalilnya hadits dari ‘Aisyah RA bahwa Rasulullah SAW telah memerintahkan isteri Abu Hudzaifah untuk menyusui seorang anak bernama Salim sebanyak lima kali susuan (khamsa radha’atin). (HR Ahmad, 6/201). (Asy Syaukani, Nailul Authar, hlm. 1387, hadits no 2983).

Jika syaratnya lima kali susuan, lalu apa batasan sekali susuan? Yang disebut sekali susuan, adalah seorang bayi menghisap air susu dari puting susu lalu berhenti atas kehendaknya sendiri. Jika bayi berhenti menyusu karena sesak napas, atau karena berpindah dari satu tetek ke tetek lainnya, atau karena suatu hal tertentu yang menghentikannya menyusu, lalu bayi itu segera menyusu lagi, itu masih dihitung sekali susuan. (Sa’duddin bin Muhammad Al Kibbi, Ahkam Ar Radha’ fi Al Islam, hlm. 9).

Jika penyusuan telah memenuhi dua syarat di atas, barulah bayi yang disusui menjadi anak susuan bagi perempuan yang menyusuinya, dan muncullah akibat-akibat hukum dalam kemahraman. Antara lain, jika bayi itu laki-laki, haram hukumnya dia menikahi perempuan yang menyusuinya. Haram hukumnya laki-laki itu menikahi perempuan yang pernah disusui pula oleh perempuan yang menyusuinya itu. Haram juga laki-laki itu menikahi anak atau cucu perempuan dari perempuan yang menyusuinya. Wallahu a’lam.

Yogyakarta, 26 Oktober 2012

Muhammad Shiddiq Al Jawi

Leave a Comment