Ujian akhir semester sebentar lagi, banyak sekolah-sekolah yang mulai memberikan latihan-latihan ujian atau mengerjakan soal kepada murid-muridnya. Dengan harapan para siswa mampu menyelesaikan soal-soal ujian dengan lancar dan mendapatkan nilai yang bagus.
Namun dibalik aktivitas itu, pada faktanya masih banyak murid di bangku sekolah yang curang saat mengerjakan soal ujian. Hal ini sudah menjadi kebiasaan para murid untuk mendapatkan nilai bagus secara instan.

Lalu, apakah kebiasaan curang saat mengerjakan soal ujian itu dibolehkan dalam Islam? Lebih jelasnya, mari kita simak ulasan berikut ini.
Tanya :
Ustadz, apa hukumnya seorang murid berlaku curang (nyontek, dll) dalam ujian? Juga apa hukumnya guru membantu murid agar nilai ujiannya bagus atas perintah kepala sekolah? (Hamba Allah, bumi Allah)
Jawab :
Haram hukumnya seorang murid berbuat curang dalam ujian bagaimana pun bentuk dan caranya, misalnya bekerjasama dengan teman, mengintip catatan, menerima jawaban lewat SMS, termasuk mendapat bantuan guru. Semuanya termasuk tindakan curang (al-ghisy) yang diharamkan.
Dalil keharamannya adalah hadits dari Abu Hurairah RA, bahwa Rasulullah SAW suatu saat melewati seonggok makanan yang dijual di pasar. Lalu Rasulullah SAW memasukkan tangannya ke dalam onggokan makanan itu hingga jari beliau menyentuh makanan yang basah. Rasulullah SAW bertanya,”Apa ini wahai penjual makanan?” Penjual makanan menjawab,”Itu kena hujan wahai Rasulullah SAW.” Rasulullah SAW berkata,”Mengapa tak kamu letakkan yang basah itu di atas supaya dapat dilihat orang-orang? Barangsiapa berbuat curang maka ia bukan golongan kami.” (HR Muslim).

Hadits tersebut dengan jelas menunjukkan keharaman tindakan curang penjual makanan, karena terdapatqarinah (indikasi) larangan yang tegas (al-nahy al-jazim), yaitu celaan “bukan golongan kami” (fa-laisa minni) bagi setiap orang yang berbuat curang. (‘Atha` bin Khalil, Taysir Al-Wushul Ila Al-Ushul, hlm. 24).
Baca Juga: Hukum Menggunakan Fasilitas Negara Untuk Keperluan Pribadi
Namun hadits ini tak hanya berlaku khusus untuk peristiwa tersebut, tapi berlaku umum untuk setiap tindakan kecurangan dalam segala bentuknya. Sebab redaksi hadits menggunakan kata yang berarti umum, yaitu “man” (barangsiapa), sesuai bunyi hadits “Barangsiapa berbuat curang maka ia bukan golongan kami” (Arab : man ghasysya fa-laisa minnii). Kaidah ushul fiqih menyebutkan : Al-‘ibrah bi-‘umum al-lafzhi laa bi-khushush as-sabab (makna diambil berdasarkan keumuman lafazh, bukan berdasarkan kekhususan sebab / latar belakang). (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakhshiyah Al-Islamiyah, III/241).
Pengertian tindakan curang (al-ghisy) adalah menampakkan sesuatu yang tak sesuai dengan faktanya (izh-haru ghair al-haqiqah), atau menampakkan sesuatu secara berbeda dengan apa yang disembunyikan. (Rawwas Qal’ahjie, Mu’jam Lughah Al-Fuqaha`, hlm. 252; Ibrahim Anis dkk, Al-Mu’jam Al-Wasith, hlm. 652).
Dengan demikian, keumuman hadits di atas mencakup pula keharaman melakukan kecurangan dalam ujian, baik yang dilakukan murid maupun guru. Sebab dengan perbuatan curang yang mereka lakukan akan nampak seolah-olah murid mendapat nilai bagus (berhasil), padahal kenyataannya mendapat nilai buruk atau gagal ujian.

Guru tak boleh mentaati perintah kepala sekolah untuk melakukan kecurangan dengan membantu murid mengerjakan soal ujian. Sebab perintah kepala sekolah itu adalah perintah maksiat yang tak boleh ditaati. Sabda Rasulullah SAW,”Tidak ada ketaataan kepada makhluk dalam berbuat maksiat kepada Al-Khaliq.” (HR Bukhari dan Muslim).
Baca Juga: Hukum Berpartisipasi dalam Pemilu Penguasa Yang Memerintah dengan Kekufuran
Lebih dari itu, guru dan kepala sekolah tak hanya menanggung dosanya sendiri karena membantu dan membolehkan kecurangan, tapi juga akan menanggung dosa seluruh murid yang telah berbuat curang atas bantuan guru dan kepala sekolah. Nauzhubillah min dzalik. Sabda Rasulullah SAW,”Barangsiapa mengadakan perbuatan baik, maka baginya pahala perbuatan itu dan pahala siapa saja yang melakukan perbuatan itu. Dan barangsiapa mengadakan perbuatan buruk, maka baginya dosa dari perbuatan itu dan dosa siapa saja yang melakukan perbuatan itu.” (HR Muslim). Kaidah fikih menyebutkan : “Man a’ana ‘ala ma’shiyyatin fahuwa syariik fi al-itsmi.” (Barangsiapa membantu suatu kemaksiatan, maka dia telah bersekutu dalam dosa akibat kemaksiatan itu). (Syarah Ibnu Bathal, XVII/207). Wallahu a’lam.
Terimakasih sudah membaca artikel yang berjudul “Hukum Curang Saat Mengerjakan Soal Ujian Menurut Islam”. Kami dari anaksholeh.net telah menambahkan gambar, link, featured image, perbaikan pada judul, perbaikan alenia dan pemberian pembuka serta penutup agar lebih menarik. Jika artikel ini dirasa bermanfaat, silahkan share melalui sosial media. Jazakumullah khair.
Catatan kaki:
Sumber : Tabloid MU edisi 61